Judul film: 3: Alif Lam Mim
Sutradara: Anggy Umbara
Produser: Raam Punjabi, Arie Untung
Pemeran: Cornelio Sunny, Abimana Aryasatya, Agus Kuncoro
Prisia Nasution, Tika Bravani, Cecep Arif Rahman, Donny Alamsyah, Verdi Solaiman, Tanta Ginting, dll.
Sinematografi: Dicky R. Maland
Perusahaan: FAM Pictures
Produksi: Multivision Plus
Rilis: 01 Oktober 2015
Durasi: 134 menit
Bahasa: Indonesia
3: Alif Lam Mim adalah film laga futuristik pertama di Indonesia yang mendapatkan penghargaan 5 nominasi pada ajang Festival Film Indonesia 2015, yaitu meliputi: Skenario Terbaik (Umbara bersaudara), Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Tanta Ginting), Pemeran Anak Terbaik (Bima Azriel), Tata Suara Terbaik (Khikmawan Santosa dan Novi DRN), serta Efek Visual Terbaik (Sinergy Animation)
Film ini merupakan film karya Anggi Umbara, sutradara kelahiran Jakarta, Indonesia yang saat ini berusia 40 tahun. Anggi Umbara memulai karir sutradaranya dengan menggarap film Mama Cake, kemudian ia menggarap film Coboy Junior The Movie yang juga sukses dalam perilisannya, selain itu karyanya yang lain adalah Comic 8 film yang membuat namanya dikenal publik dan mendapat antusiasme luar biasa dari penonton. Kemudian disusul dengan film aksi-komedi Comic 8: Casino Kings dan Comic 8: Casino Kings Part 2.
Film 3: Alif Lam Mim menggambarkan keadaan Jakarta pada tahun 2036 dimana di sana terdapat banyak perubahan. Negara kembali damai dan sejahtera setelah berakhirnya perang saudara dan pembantaian kaum radikal pada Revolusi tahun 2026. Hak asasi manusia dirajakan, penggunaan peluru tajam sebagai senjata diklaim ilegal, aparat negara menggunakan peluru karet untuk menangkap penjahat dan teroris. Satu dilema yang sangat menyulitkan bagi aparat adalah bangkitnya kelompok radikal yang berjuang untuk mengganti wajah demokrasi aparat pun mengandalkan kemampuan bela diri yang tinggi untuk menumpas para penjahat.
Alif, Lam, dan Mim adalah tiga sahabat dari satu perguruan silat yang dibesarkan bersama di pesantren Al-Ikhlas. Mereka mempunyai karakter dan impian yang berbeda. Alif yang cenderung bersikap lurus dan keras memilih menjadi aparat negara, ia bertekad membasmi kejahatan dan mencari para pembunuh kedua orangtuanya. Lam yang mempunyai kepribadian lebih tenang memilih menjadi seorang jurnalis yang bertekad menyebarkan kebenaran dan menjadi mata dari rakyat. Sedangkan Mim yang bijak memilih mengabdi menjadi pengajar dan menetap di pesantren.
Peristiwa ledakan bom pada sebuah cafe menjadi awal pertemuan sekaligus munculnya konflik yang harus dihadapi Alif, Lam, dan Mim. Semua bukti investigasi yang ditemukan mengarah pada Mim dan anak didiknya. Perseteruan antara Alif dan Mim pun terjadi karena kesalahpahaman. Lam pencari kebenaran berusaha menengahi keduanya hingga terbukalah kedok kejahatan dari atasan Alif yang membuat Alif, Lam, dan Mim kembali bersatu berjuang bersama menumpas kejahatan dan membela kebenaran.
Cerita dalam film ini cukup menarik, penggambaran latar tempat, waktu, maupun suasananya sesuai dan benar-benar hidup. Pemaparan watak tokoh juga bagus. Hanya saja alur ceritanya masih sedikit membingungkan, jika menontonnya tidak dengan seksama mungkin orang yang menonton tidak akan faham. Ada beragam nilai positif yang bisa diambil dari film ini meliputi nilai religius tentang bagaimana kita menjalankan apa yang diperintahkan dan dilarang dalam agama, nilai sosial tentang berprasangka, kita harus hati-hati dalam memandang orang lain, karena kita tidak bisa mengklaim orang lain bertindak kejahatan hanya dengan melihat sebuah gambar atau sesuatu yang belum jelas, karena terkadang hal yang terlihat benar belum tentu benar, pun sebaliknya. Dan tentang bagaimana kita mempererat hubungan dengan orang lain baik itu dengan kawan lama ataupun dengan seseorang yang telah berjasa mengajarkan ilmunya kepada kita.
Film ini juga mengajak kita untuk selalu berpihak pada kebenaran, menegakkan keadilan dan kejujuran. Akan tetapi selain memberikan nilai positif film ini juga dapat berpengaruh negatif, penggunaan senjata berbahaya, berkelahi dan adegan tembak menembak dapat mempengaruhi penonton, apalagi anak yang masih dibawah umur. Melihat tingkat emosional mereka, anak-anak mungkin akan menyimpulkan bahwa menyelesaikan masalah bisa dengan berkelahi. Seharusnya untuk adegan yang sekiranya terlalu ekstrim tidak perlu ditayangkan. Dari film ini kita dapat mengetahui gambaran sebuah pergulatan politik yang membutuhkan kambing hitam demi tercapainya kepentingan suatu pihak, meskipun harus mengorbankan apapun atau siapapun termasuk orang-orang tak bersalah menjurus sampai umat dan agama.(Fitrotul MN)