MENYINGKAP PERTIKAIAN RADEN MAS SYAHID DAN RADEN ABDUL JALIL

Produser        : Taruna Suci UtamaTK Gunawan PrihatnaWirjaatmadja Ngadiman
Sutradara       : Sofyan SharnaAckyl Anwari
Penulis            : Sofyan Sharna
Pemeran         : Deddy MizwarAnwar FuadyRatno TimoerKusno SudjarwadiZainal Abidin
Bahasa utama: Indonesia
Rilis Tahun    : 1985

 

Sofyan Sharna, sutradara kelahiran Jakarta, 06 Juli 1930 itu telah berkecimpung selama 14 tahun dalam dunia perfilman, berbagai jabatan telah ia jelajahi, perintisan karirnya dimulai dari menjadi pembantu penata rias di Perfini lewat film “Krisis”, kemudian menjadi penata rias penuh dalam berbagai film lainnya. Hingga pada akhirnya beliau menjadi sutradara sepenuhnya pada tahun 1977, dengan sebuah film karyanya yang berjudul “Koboi Cilik”. Selain itu film-film yang disutradarai beliau diantaranya yaitu, Layu Sebelum Berkembang (1977), Bernafas Dalam Cinta (1978), dll., beliau juga sering muncul sebagai pemain pembantu dalam berbagai film yang ikut digarapnya. Pada konteks akhir film ini muncul seorang kakek tua yang bercerita kepada serombongan anak-anak tentang akhir dari Syeikh Siti Jenar.

Sutradara menulis kisah ini bertujuan menempatkan kisah Sunan Kalijaga dan para Wali lainnya dalam konteks sosial-politik mengenai penyebaran agama Islam di tengah masyarakat Hindu, juga pertentangan antara Sunan Kalijaga dan para Wali lainnya terhadap metode penyebaran agama Allah dan tentang konflik serta  intrik politik saat itu.

              Peristiwa perang paregreg memberikan dampak buruk pada rakyat, mulai dari kesengsaraan hidup lahir maupun batin, tiada ketentraman, akal dan budi pekerti (akhlaq) rakyat pun merosot. Keprihatinan para Wali terhadap keadaan rakyat menimbulkan sebuah asumsi dari salah seorang Wali untuk melakukan penyerangan terhadap Majapahit dan mendirikan pemerintahan sendiri,lantaran  mereka punya calon pemimpin yang kuat yaitu Raden Fatah, hal tersebut langsung ditentang oleh Sunan Kalijaga, dengan pertimbangan, Kerajaan Majapahit tidak pernah melarang ataupun mengganggu para Wali dalam menyebarkan agama Islam dan mereka juga tidak membawa kekufuran. Selain itu, “Pemerintah itu Umaro’, Pimpinan yang harus kita patuhi, ikuti.” tutur Sunan Bonang . “Kalau Pimpinan itu salah?” sanggah Sunan Kudus. Lalu dalam diskusinya hadir pula Sunan Kalijaga dan beliau bertutur “Sebagai muslim, kita wajib mengingatkan” imbuhnya. Perjuangan para Wali dalam mendakwahkan Islam di tengah masyarakat Hindu sangat bervariasi. Berbagai upaya dan musyawarah dilakukan oleh para Wali demi rakyat. Namun ditengah keberhasilan, para Wali menyadarkan masyarakat dan menimbulkan konflik baru, Syeikh Siti Jenar mengajarkan Ilmu Manunggaling Kawulo Gusti pada masyarakat awam, para Wali menganggap bahwa apa yang dilakukan Syeikh Siti Jenar itu tidak benar. Ketinggian Ilmu Tasawuf yang dimiliki Syeikh Siti Jenar membuat orang awam salah paham. Setelah bermusyawarah dan mendengar langsung pernyataan Syeikh Siti Jenar, para Wali sepakat untuk menghukum Syeikh Siti Jenar.

Dari kisah ini dapat dipetik ibrah bagaimana kearifan Sunan Kalijaga dalam menghadapi kontroversi yang terjadi baik antara beliau dengan para Wali ataupun dengan masyarakat setempat. Sebagaimana kita hidup di masyarakat yang multikultural ini, berbagai macam perbedaan pemicu konflik pasti ada, baik itu mengenai tradisi, budaya, kepercayan, ataupun yang lainnya. Seperti Sunan Kalijaga yang menyebarkan Islam dengan damai dan toleran dengan tidak menghilangkan ataupun menyinggung tradisi masyarakat, akan tetapi beliau melakukan akulturasi terhadap tradisi yang dianut oleh masyarakat Jawa dengan budaya Islam. Sedangkan dari kisah Syeikh Siti Jenar dapat kita jadikan pelajaran agar ketika kita menjadi seorang guru ataupun panutan, hendaknya jika mengajarkan sesuatu kepada muridnya harus sesuai dengan taraf pemahaman yang dimiliki si murid, jika murid itu sangat awam belum tahu apa-apa, maka kita harus memberikan penjelasan kepadanya yang lebih detail dan mudah dipahami, karena jika kita memberikan pelajaran yang belum diketahui sama sekali sementara kita tidak memberikan penjabarannya, maka ilmu yang awalnya bersifat benar itu bisa menjadi menyesatkan lantaran kesalah pahaman.

Film ini benar-benar bagus dan mendidik, banyak nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya, baik itu nilai sosial, budaya, religius, maupun moral. Jika dilihat dari kualitas tampilan gambarnya untuk film tahun 80-an tergolong sangat baik, jelas dan tidak buram. Akan tetapi, akan lebih baik jika film ini alurnya dibuat lebih detail khususnya pada kisah Syeikh Siti Jenar. Dalam film ini, plotnya cenderung mengecam seolah-olah Syeikh Syeikh Siti Jenar itu murtad dan ajarannya keliru. Padahal, sebenarnya ajaran Syeikh Siti Jenar itu benar hanya saja penyampaiannya yang kurang tepat, sehingga masyarakat awam salah tangkap, akibatnya ajaran yang awalnya benar itu menjadi sesat. Di balik ucapan Syeikh Siti Jenar yang menyatakan dirinya adalah Allah, itu terdapat makna tersendiri yang tidak semua orang dapat memahaminya, hanya orang dengan pemahaman tasawuf tinggi yang dapat mencernanya.

Menilik dari alur cerita lika liku perjuangan para Wali dalam menyebarkan agama Islam, film ini patut ditayangkan dan dipertontonkan di depan khalayak ramai untuk menambah wawasan Islam Nusantara, khususnya para generasi muda saat ini, yang minim pengetahuan akan sejarah Islam di bumi pertiwinya. (Fitrotul Masfufatin N)