Judul film: Bumi Manusia
Sutradara: Hanung Bramantyo
Produser: Frederica
Pemeran: Iqbal Ramadhan, Mawar De Jongh, Sha Iner Febriyanti, Bryan Domani, dll.
Rilis: 19 Agustus 2019 (Surabaya)
Durasi: 181 menit
Bahasa: Melayu, Belanda, Jawa
Film layar lebar dengan judul Bumi Manusia, yang diadopsi dari novel seorang penulis legendaris di zaman Kolonial yaitu Pramoedya Ananta Toer telah meraih penghargaan Award of Excellence Sinematek Indonesia, telah meraih banyak viewers.
Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini telah lama ditunggu oleh khalayak ramai. Nama Hanung sendiri sudah tersohor di berbagai penjuru sebagai sutradara yang telah menyutradarai banyak film dan menoreh banyak penghargaan sebagai sutradara terbaik. Kepiawaiannya dalam mengatur alur cerita dan lika-liku konflik film-film yang digarapnya membuat setiap film karyanya dinanti-nanti publik.
Sejauh ini film-film garapan Hanung yang mendapat banyak respon positif dari masyarakat diantaranya yaitu, Ayat-ayat cinta, Kartini, Rudy Habibie, Bumi Manusia, dll. Meskipun diantaranya masih ada film yang jadi kontroversi seperti Wanita Berkalung Sorban, dll, namun hal itu tak membuat Hanung berhenti mencetak karyanya.
Bumi Manusia menceritakan kisah Minke, yaitu pribumi putra bangsawan yang bersekolah di HBS, pada saat itu hanya keturunan Eropa, bangsawan, dan pejabat saja yang bisa bersekolah di HBS. Sosok Minke sendiri terinspirasi dari tokoh Tirto Adhi Soerjo (pendiri surat kabar berbahasa Melayu pertama di Indonesia)/ disebut dengan Bapak Pers Nasional.
Suatu ketika pertemuan Minke pada seorang Nyai Ontosoroh dan keluarganya membuat pemikirannya mulai berlabuh, di situ lah awal dari petualangannya menjelajah pemikiran Eropa di abad 1898 pada masa kedudukan Hindia Belanda. Kedudukan hukum Eropa yang melibatkannya pada sebuah kasus juga ketidakadilan yang ditegakkan membuatnya berontak, hukum Eropa saat itu sungguh kejam, reputasi seorang Nyai saat itu setara dengan binatang (dianggap tak ber norma kesusilaan dan tak punya hak asasi layaknya manusia) karena statusnya sebagai istri simpanan.
Dalam film ini juga menceritakan kisah cinta Minke dan Annelies (putri Nyai Ontosoroh) yang sempat menjadi kontroversi. Hukum Islam tak berlaku dalam hukum Eropa saat itu. Minke merasa sedih melihat hal itu, juga keadaan pribumi lainnya yang tertindas dan diinjak-injak dalam bangsanya sendiri.
Kecerdasannya dalam menulis membuat Minke berinisiatif menyuarakan penderitaan, rasa ketidakadilan yang diterima baik itu oleh dirinya ataupun pribumi lain seperti Nyai Ontosoroh melalui tulisan yang dimuat di surat kabar, karena ia berpikir dengan menulis tidak akan membuat suaranya padam ditelan angin.
Setting waktu, tempat, maupun suasana dalam film ini sangat menarik. Penggambaran ceritanya membuat penonton seolah-olah masuk dalam abad 18 M., masa kedudukan Belanda di Indonesia. Kualitas gambar dan sound systemnya juga bagus dan penghayatan tokoh dalam film ini juga sesuai, tidak membosankan.
Akan tetapi masih ada beberapa adegan yang terkesan vulgar di dalamnya, dan akan lebih baik jika adegan itu tidak ditayangkan, karena bisa jadi itu dapat memberikan pengaruh buruk pada penonton apalagi penonton yang masih di bawah umur, dan takutnya juga dapat memicu kontroversi masyarakat. Ada beberapa alur cerita yang agak kurang masuk akal (membutuhkan sedikit penjabaran) jadi alurnya tidak terlalu singkat seperti ketika membahas tentang pengadilan Islam, seharusnya dari awal itu sudah diikutkan, tapi dalam film itu pengadilan akan hukum Islam baru diangkat-angkat ketika sidang tentang Annelies.
Ada banyak pengetahuan yang dapat diambil dari film ini. Seperti pengetahuan akan sejarah pemikiran Eropa di zaman Hindia-Belanda. Nilai-nilai moral dan kesusilaan, rasa cinta tanah air untuk selalu ingat bahwa kemanapun kita, dimanapun kita, sepandai apapun kita, tanah air kita tetaplah Indonesia. Dan yang terpenting adalah menulis. Dengan menulis seseorang bisa merubah keadaan, meminta keadilan, dan merubah dunia.
Oleh : Fitrotul Masfuatin Naila