“Pondok Kaliwangan” masyarakat sering menyebutnya. adalah Pesantren yang di asuh oleh Kiai Muharror yang sudah berdiri sejak 39 tahun silam. Banyak kisah dan cerita perjuangan dalam mendirikan pesantren, pait getirnya perjuangan sudah dilalui Kiai Muharror kala itu.
Di pesantren yang terkenal dengan pohon jatinya itu, Kiai Muharror selalu menekankan kepada santrinya untuk selalu berjamaah sholat lima waktu. “apalah gunanya kau mencari ilmu, jika jamaah saja kau tinggalkan”, dawuh kiai Muharror kepada santri-santri agar semangat dalam berjamaah.
Saking disiplinnya kiai Muharror, membangunkan santripun dilakukan seorang diri olehnya. Sudah menjadi hal biasa dikalangan santri ketika menjelang shubuh.
Merasakan ketegangan jika “diobrak-obrak” bangun shubuh oleh abah (panggilan kiai muharror oleh santri), ada kenikmatan tersendiri jika dibangunkan oleh abah.
Sebut saja namanya Mamad, ia adalah santri yang duduk di kelas 3 wustho. Saat itu pesantren akan mengadakan akhirusannah, tepatnya empat hari sebelum pengajian umum. Menjelang shubuh kiai Muharror membangunkan santri-santri mulai dari asrama putra, kamar pengurus hingga kamar abdi ndalem. “tangi, tangi” suara kiai Muharror membangunkan santri-santri dengan nada penuh kasih sayang.
Seketika, santri-santri yang sangat takdzim (hormat) kepada kiai Muharror bergegas keluar kamar untuk mengambil air wudhu. Akan beda cerita jika yang membangunkan pengurus, pasti akan ada drama yang tersaji antara pengurus dan santri biasa. Itulah yang membedakan kharisma seorang kiai yang akan selalu dihormati oleh santri-santrinya.
Ketika itu Mamad baru tidur jam 03.00 wib di kamar Abdi ndalem, karena letih usai bermain hadrah di acara warga sekitar, sebelum lelap dalam mimpinya Mamad bermain HP, ia pikir tata tertib pesantren sudah tidak berlaku menjelang Akhirusannah, Akhirnya ia terlelap dalam mimpinya dengan HP yang ada di sampignya.
“ngeek” suara pintu terbuka, tak lain adalah kiai Muharror “buk, buk, buk” suara sajadah mengibas ke tubuh Mamad. Seketika Mamad terbelalak melihat kiai Muharror didepanya“waduh, abah” dalam batinya, ia bergegas bangun dan menutupi HP yang ada disampingnya dengan sajadah yang ia buat tidur. Secepat kilat Mamad keluar dari kamar untuk mengambil wudhu.
Dalam benaknya ia gelisah campur aduk grogi, jika HP nya di sita kiai Muharror, lima menit kemudian kiai Muharror keluar kamar berjalan menuju masjid untuk mengimami, santri-santri yang belum selesai mengambil air wudhu menundukan kepala dengan rasa takdhim ketika kiai Muharror menapaki langkah menuju masjid. “Wuss” secepat kilat si Mamad masuk kamar abdi ndalem lagi untuk mengecek HP nya, “mati aku HP ku kesita” batin Mamad ketika membuka sajadah.
Seminggu kemudian si Mamad serta bapaknya disuruh mengambil HP yang disita oleh kiai Muharror ke ndalemnya. Dengan rasa malu dan takut Mamad menuju ndalem kiai Muharror.
“Assalamualikum” suara salam Mamad dengan nada grogi dari depan pintu ndalem. Lima menit berselang sosok kiai Muharror dengan mengenakan kopyah, baju lengan pendeknya serta sarungan terlihat keluar. Kebiasaan kiai Muharror berparas rapi ketika istirahat.
“Waalaikumsalam, monggo mlebet” jawab kiai Muharror mempersilahkan. “Bapake Mamad” lanjut kiai Muharror. Dada Mamad bertambah berdetak karena sudah melanggar aturan pesantren.
“Ngapunten kiai, kulo kaleh Mamad ingkang sepindah bade sillaturrahmi” ucap Bapak Mamad kepada kiai Muharror dengan nada lembut.
“ingkang nomer kaleh ngapunten ndekwingi Mamad nglanggar aturanipun pesantren inggih puniko mbeto HP”.
Kemudian, kiai Muharror masuk ke kamar dan membawa dua HP hasil sitaan. “iki mad Mamad”, kiai Muharror menjulurkan HP yang dipegang di tangan kanan.
“inggih, kiai”, jawab Mamad dengan rasa takdzim dan hormat.
Suasan hening terjadi beberapa detik di ruang tamu ndalem kiai Muharror. “Laiyo Mad, neng pesantren wes ngerti ga oleh gowo HP, kok malah mulih jukuk HP” tutur kiai Muharror kepada Mamad. “ndek wingi rapat ceking akhir akhirusannah ora melu to awakmu?” Tanya kiai Muharror kepada Mamad.
“pondok nek durung libur yo tetep ora oleh gowo barang-barang elektronik, iki lagi sepisan konangan tak balekke, kepindo konangan tak tahan, sok tak wehke pas boyongan, kabeh nginiki yo kanggu awakmu mad, sinaune ben tenanan”. Lanjut kiai Muharror memberi pitutur kepada Mamad.
Dag dig dug semakin berasa di dada Mamad, ia hanya bisa menjawab berkali-kali“nggeh kiai, ngapunten”. Akhirnya si Mamad dan bapaknya pamit undur diri dari ndalem kiai Muharror dan merasa sangat lega karena sudah bisa sowan dan meminta maaf kepada kiai Muharror.
Bisa ditarik benang merah dari peristiwa itu, kiai Muharror selalu berpesan kepada santri-santrinya untuk selalu berjamaah, ia juga mengajarkan sifat disiplin dan taat kepada aturan-aturan yang berlaku di pesantren, meski hari libur sudah dekat, ia juga mengajarkan kesungguhan jika menjadi panitia agenda pesantren. Semua yang diajarkan kiai Muharror itu hanya bertujuan untuk menjadikan sungguh-sungguhnya santri-santri dalam mencari ilmu.
Oleh : Ahmad Muwafi Nur Hasan (Alumni PP Khozinatul Ulum)