Refleksi FORDISMA (Forum Diskusi Mahasiswa) Pesantren Khozinatul Ulum Blora, “Eksistensi Budaya Islam di Kalangan Remaja”.

Bapak Imam Ali Bahori, M.S.I.

Khozin Pusat – Jum’at 26/05 FORDISMA (Forum Diskusi Mahasiswa) Pondok Pesantren Khozinatul Ulum Blora menyelenggarakan Diskusi Mahasiswa bersama Bapak Imam Ali Bashori, M.S.I., yang merupakan salah satu dosen IAI Khozinatul Ulum Blora sekaligus Wakil Dewan Kebudayaan Kabupaten Blora.

Diskusi Mahasiswa ini mengangkat tema “Eksistensi Budaya Islam di Kalangan Remaja”. Dari tema diskusi ini narasumber menyampaikan tentang posisi pesantren dalam konteks budaya, yang berabad-abad lamanya berhasil menghadapi serangan kultural yang datang silih berganti.

FORDISMA Pesantren Khozinatul Ulum

Pesantren sebagai subkultur memiliki cara hidup yang di anut, pandangan hidup, dan tata nilai yang di ikuti. Dari sini Pesantren menjadi pemfilter atas budaya-budaya yang masuk khususnya budaya modernisasi saat ini, artinya pesantren tetap menerima modernisasi dan mampu memfilter mana yang baik dan mana yang buruk.

Pesatren selama ini mampu membendung arus modernisasi dengan baik, hal ini tidak lepas dari tatanan yang dimiliki.

Oleh karena itu sudah semestinya tatanan itu tetap dijaga, terlebih oleh seorang santri yang sudah seharusnya menyadari posisinya saat ini. Tatanan pesantren mungkin terlihat megekang tapi inilah sebagian dari proses bagaimana tatanan ini berperan.

Tradisi Pesantren yang begitu kuat hingga saat ini, justru di sadari menjadi alat bendung bagi derasnya arus modernisasi. Kiyai sebagai pengasuh sekaligus menjadi sosok panutan di kalangan pesantren memberikan kontribusi besar guna pemfilteran arus modernisasi yang datang.

Meski pesantren kerap di doktrin sebagai entitas yang kolot dan anti modernitas, nyatanya itu hanya sebagian dari upaya pesantren untuk menjaga tradisi luhurnya. Pesantren tidak menolak secara penuh atas peradaban yang terus berkembang.

Clifford Geertz menganggap Kyai/Ulama Pesantren sebagai “makelar kebudayaan” (Cultural broker) yang melakukan fungsi screening bagi budaya luar masyarakatnya.

Artinya dari peran Kyai itulah pesantren benar-benar mampu menyaring setiap budaya yang masuk. Tatanan pesatren yang sekilas terlihat mengekang adalah bagian dari peran tatanan yang berfungsi untuk menyeimbangkan peradaban.

Menurut Hiroko Horikoshi Kyai mengambil peranannya sendiri untuk merumuskan pembangunan di tempat mereka berada.

Masing-masing pesantren mencari jawaban sendiri atas tantangan modernisasi. Sehingga muncul karakter masing-masing pesantren, seperti pesantren salaf, pesantren modern atau pesantren salaf modern. Karakter masing-masing pesantren sesuai dengan kebijakan dan tujuan Kyai / pengasuh pesantren.

Sedangkan menurut narasumber sendiri Bapak Imam Ali Bashori, M.S.I., pondok pesantren merupakan incubator untuk “baby transformer”.

Bapak Imam Ali Bashori, M.S.I.

Artinya para santri yang berada di pesantren mengalami proses inkubasi untuk di didik mentalnya, pengembangan jati dirinya dengan nilai-nilai keislaman yang sesungguhnya, agar siap dan terbiasa menghadapi kehidupan yang majemuk. Dan Kyai menjadi sosok panutan yang utama, selain itu tatanan pesantren juga menjadi pendukung atas proses inkubasi ini.

Oleh : Nurul Wahidatul Hamidah, (Anggota FORDISMA Pondok Pesantren Khozinatul Ulum Blora).