Belajar Nilai-nilai Kepemimpinan dari Peristiwa Isra Mi’raj

Apa itu Isra Mi’raj??

Isra’ Mi’raj merupakan dua peristiwa perjalanan nabi muhammad SAW yang dilakukan pada waktu satu malam. Jika perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju sang pencipta (al-Khalik).

Peristiwa Isra Mi’raj terbagi dalam dua peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad SAW “diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi’raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini, Nabi mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu. Dan ini lah peristiwa yang sangat berharga bagi umat islam sebab inilah awal pertama kali sholat lima waktu sehari semalam diwajibkan.

Kapan Isra Mi’raj terjadi?

Isra Mi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah, sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Menurut mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M atau terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian.

Mengapa dalam peristiwa itu Rasul diperjalankan ke Masjidil Aqsa? Kenapa tidak langsung saja ke langit? 

Pertama, Bahwa Nabi Muhammad adalah satu-satunya Nabi dari golongan Ibrahim AS yang berasal dari Ismail AS, sedangkan Nabi lainnya adalah berasal dari Ishaq AS. Hikmah lainnya adalah, bahwa Nabi Muhammad berdakwah di Makkah, sedangkan Nabi yang lain berdakwah di sekitar Palestina. Kalau dibiarkan saja, orang lain akan menuduh Muhammad SAW sebagai orang yang tidak ada hubungannya dengan “golongan” Ibrahim dan merupakan sempalan. Bagi kita sebagai muslim, tidaklah melihat orang itu dari asal usulnya, tapi dari ajarannya. 

Kedua, Allah ingin memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Nabi SAW. Pada Al Qur’an surat An Najm ayat 12, terdapat kata “Yaro” dalam bahasa Arab yang artinya “menyaksikan langsung”. Berbeda dengan kata “Syahida”, yang berarti menyaksikan tapi tidak mesti secara langsung. 

Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya itu secara langsung, karena pada saat itu dakwah Nabi sedang pada masa sulit, penuh duka cita. Oleh karena itulah pada peristiwa tersebut Nabi Muhammad juga dipertemukan dengan para nabi sebelumnya, agar Muhammad SAW juga bisa melihat bahwa mereka pun mengalami masa-masa sulit, sehingga Nabi SAW bertambah motivasi dan semangatnya. Hal ini juga merupakan pelajaran bagi kita yang mengaku sebagai da’i, bahwa dalam kesulitan dakwah itu bukan berarti Allah tidak mendengar.

Nilai-nilai kepemimpinan dari peristiwa Isra Mi’raj

Dari peristiwa Isra Mi’raj terdapat nilai-nilai signifikan bagi sebuah kepemimpinan. Pertama, sebagaimana tercermin dari ayat yang mengemukakan peristiwa Isra’ Mi’raj (Surat Al-Isra’), yang dimulai dengan ”tasbih”, juga peristiwa pembersihan dada Nabi dengan air zam zam ditambah dengan wudhu, maka dalam sebuah kepemimpinan, hal pertama yang harus dilakukan adalah menjaga integritas moral atau Akhlakul karimah. Dalam konteks keorganisasian atau kepengurusan, hal ini dapat diwujudkan dengan reformasi moral (revolusi mental) yang dimulai dari anggota intinya.

Kedua, selain integritas moral (akhlakul karimah), yang tidak kalah pentingnya adalah belajar kepada sejarah. Ia bisa berupa pengalaman dari orang-orang yang pernah menjalankan sebuah kepemimpinan. Dengan demikian kontinuitas kesejarahan dapat terus dipertahankan dan dikembangkan. Sebagaimana prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah, ”Memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik” (al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah).

Ketiga, dengan Akhlakul karimah serta nilai-nilai kesejahteraan itu, diharapkan sebuah kepemimpinan dapat berjalan dengan benar dan tidak mudah terpincut godaan, sebagaimana teladan Nabi ketika melakukan Mi’raj-nya. Kepemimpinan yang demikian dapat tercapai, manakala seluruh anggotanya tegak lurus dalam melaksanakan keadilan (al-‘adalah), dengan didasari oleh nilai-nilai kesetaraan (al-musawwah). Hal ini pun akan dapat berjalan baik, manakala pemimpin dan anggotanya bersikap konsisten dan disiplin (istiqamah), dapat dipercaya (amanah) serta mau merundingkan segala persoalan yang menyangkut kepemimpinan secara bersama (musyawarah). Dan satu hal yang tidak boleh dilupakan, yakni jangan sampai ia berlagak atau bersikap sok pintar atau merasa paling tahu terhadap semua urusan (tanaththu’). Terhadap yang dipimpin jangan sampai mempersulit (tasydid), dan kebijakannya tidak melewati batas kemampuan yang ada (ghuluw), baik bagi yang dipimpin atau pun sang pemimpin itu sendiri.

Keempat, hendaknya kebijakan seorang pemimpin membumi kepada hati dan kebutuhan orang yang dipimpinnya. Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, hal itu telah diteladankan Nabi saw, ketika beliau sudi kembali (turun) ke bumi setelah bertemu Allah. Padahal pertemuan dengan Allah-lah cita-cita dan tujuan umat manusia. Kembalinya Rasulullah ini dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib umat manusia (rahmatan lil’alamin). Maka dalam konteks ini, kebijakan yang membumi, mutlak diperlukan. Sebagaimana kaidah fiqh yang mengatakan, ”Kebijakan pemimpin itu akan senantiasa berlandaskan pada kemaslahatan untuk rakyat” (Tasharruful imam ‘ala ar-ra’iyyah manutun bi al-mashlahah).

Kelima, amanat Rasulullah saw untuk menegakkan shalat, pada dasarnya merupakan suatu simbolisme yang mengajarkan prinsip kepemimpinan, yakni pola hubungan antara hamba (manusia) kepada Tuhannya dan antara manusia dengan sesamanya. Dalam ajaran shalat, seseorang yang hendak melaksanakannya, diwajibkan terlebih dahulu berwudhu atau dalam keadaan suci. Pelaksanaan shalat itu sendiri, dimulai dengan mengagungkan Asma Allah (takbiratul ihram) dan diakhiri dengan doa keselamatan bagi segenap umat manusia.

Isra Mi’raj merupakan perjalanan spiritual Baginda Nabi, perjalanan keilmuan dan penempaan mental dalam menyiapkan diri untuk dakwah Kanjeng Nabi. Dari peristiwa Isra Mi’raj kita belajar bagaimana menyikapi setiap hal dan karakter orang-orang yang kita hadapi dengan bijaksana dan budi pekerti.(wh)

Share :

Twitter
WhatsApp
Facebook