Kyai Rendah Hati yang Mengabdikan Diri pada Ilmu
Profil H. Muhtadi Noor
H. Muhtadi Noor merupakan salah satu masyayikh di pondok pesantren Khozinatul Ulum Blora. H. Muhtadi Noor bin KH. Nur Salim yang akrab dipanggil H. Muhtadi lahir di Medalem, Jl. Sunan Kalijaga, Senori, Tuban, pada tanggal 18 Agustus 1963.
Ayahnya bernama KH. Nur Salim dan ibunya bernama Siti Aisyah. Sejak kecil beliau tidak lepas dari pendidikan agama. Beliau mengenyam pendidikanya di Madrasah Ibtidaiyah dan MTs Senori.
Pada tahun 1970-an, beliau melanjutkan pendidikannya di Madrasah Ghozaliyyah Syafi’iyyah (MGS) Sarang Rembang, yang saat itu diasuh oleh KH. Maimun Zubair.
H. Muhtadi nyantridi Sarang selama 7 tahun lebih, kemudian sekitar tahun 1985-an ditugaskan oleh KH. Maimun Zubair untuk berjuang di Blora (Khozinatul Ulum). Kemudian beliau mendirikan majelis ilmu yang bernama “Majelis Ta’lim Nurus Salam”.
Majelis Ta’lim Nurus Salam
Mendirikan Majelis Ta’lim Nurus Salam tahun 1985-an bukan hal yang mudah bagi beliau, karena masyarakat Blora yang belum akrab dengan ajaran agama.
Berbagai rintangan beliau jumpai karena memang waktu itu mayoritas masyarakat Blora belum begitu mengenal Islam atau disebut dengan abangan. Banyak masyarakat yang membenci dan mencacinya, bahkan saking bencinya kepada beliau, ada orang yang berkata Kyai taek secara langsung di hadapannya.
Bukan hanya hujatan, namun masih banyak lagi ujian demi ujian yang menemani beliau selama mendirikan majelis ilmu.
Lalu beliau sowan dan menangis di hadapan KH. Maimun Zubair. KH. Maimun dawuh “Aku ngerti Muh, kue iki tak dekek neng carang gantung, arep obah rono utawa rene akeh durine” (Aku tahu Muh, kamu aku tugaskan di ranting bambu, maka jika kamu bergerak ke sana maupun kesini tetap ada duri yang menghalangi).
Hal ini menunjukan KH. Maimun Zubair sengaja menempatkan H. Muhtadi di tengah-tengah rintangan karena beliau yakin H. Muhtadi mampu menghadapinya. Setelah itu H. Muhtadi kembali ke Blora untuk meneruskan perjuangannya.
Dan pada tanggal 1 Januari 2021, H. Muhtadi Noor mengubah majelis Nurus Salam menjadi Ponpes Nurus Salam Al-Anwar.
Kesayangan KH. Maimun Zubair
H. Muhtadi adalah salah satu santri kinasih KH. Maimun Zubair. KH. Maimun Zubair sering mengunjungi H. Muhtadi ke kediamannya yang terletak di desa Jetis, namun tidak ada yang tahu. Dikhawatirkan banyak masyarakat yang semakin benci kepada beliau.
Tahun 2002 ketika menempati rumahnya di Blora, beliau dikawal terus oleh KH. Maimun Zubair. Selain itu beliau adalah salah satu santri yang membantu mengelola pertanian KH. Maimun tanpa seorang pun yang mengetahui, bahkan KH. Maimun Zubair sendiri.
Rintangan dalam Tholabul Ilmi
H. Muhtadi merupakan anak petani biasa. Keinginan mondok di Sarang berangkat atas kemauan beliau sendiri. Beliau sering menjadi bahan remehandan kalahanoleh teman-temannya yang berasal dari kalangan kelas sosial yang tinggi. Keseharian beliau menjadi tukang masak para temannya.
Ada suatu kisah ketika H. Muhtadi sedang memasak nasi. Atas kejahilan para temannya, tangan beliau dimasukkan ke dalam panci yang berisi nasi panas. Selain itu, baju beliau juga dimasuki nasi panas yang baru matang. Ironisnya, peristiwa itu terjadi berkali-kali.
Di Sarang, ia setiap harinya juga merawat putera kyai-kyai yang mondok di Sarang. Ketika sedang memandikannya, beliau pernah berkata: “Jenengan saiki tak adusi, sok jenengan seng mulang anak-anakku “ (sekarang aku yang memandikanmu, besok kamu yang akan mengajar anak-anakku). Ini merupakan bukti keikhlasan dan ketakdziman beliau kepada guru-guru yang sangat luar biasa.
Ketika pesantren Sarang sedang liburan, ia tidak langsung pulang ke kampung halaman, tetapi terlebih dahulu menawarkan tenaganya kepada guru-gurunya, diantaranya yaitu membatu mengecat tembok, menanam padi, maupun bersih-bersih. Setelah dipastikan guru-guru tidak memerlukan bantuannya lagi, baru kemudian beliau pulang.
Aktivitas
Sebagaimana aktivitas yang beliau sukai adalah mengajar, maka kesehariannya selalu diisi dengan mengajar ilmu.
Dimulai dari setelah Subuh beliau mengajar al-Qur’an kepada bapak-bapak di Majelis Ta’lim, lalu mengajar di MTs Khozinatul Ulum Blora, setelah itu beliau kembali ke Majelis Ta’lim dan mengajar al-Qur’an ibu-ibu, lalu setelah magrib beliau mengajar kitab kuning bapak-bapak.
Dari majelis Ta’lim Nurus Salam kita bisa belajar bahwa mencari ilmu itu memang dari buaian hingga liang lahat.
Selain aktivitas keseharian, beliau juga mempunyai rutinan mingguan dan bulanan. Rutinan mingguan yang beliau lakukan bersama jama’ah yaitu ziarah ke makam Sunan Pojok setiap malam Jum’at, tepatnya pukul 00.30 WIB.
Sedangkan rutinan bulanan beliau yaitu mengadakan istighosah setiap malam Jum’at Kliwon, bacaan rotib malam Jum’at Pon, dan mengadakan yasin fadhilah bersama jama’ah majelis pada malam Kamis Wage. Selain itu, beliau juga mengadakan ngaos kitab mingguan “Tanbihul Ghofilin” bersama ibu-ibu majelis pada pukul 09.00-11.30 WIB. Hal tersebut menjadi bentuk keistiqomahan beliau hingga saat ini.
H. Muhtadi adalah sosok yang tidak suka merepotkan orang lain. Beliau terbiasa melakukan hal apapun dengan tangan beliau sendiri. Misalnya dalam bersih-bersih, beliau sendiri yang langsung turun tangan, seperti mencuci mobil, menguras kamar mandi, membersihkan kandang, membersihkan kolam lele, dan sebagainnya.
Selain itu beliau juga memperbaiki perabotan rumah yang rusak tanpa meminta bantuan orang lain. Beliau selau berpesan kepada santrinya “Dadi santri kudu isonan” (Jadi santri harus bisa melakukan apapun, multitalent).
Keluarga
H. Muhtadi Noor menikah dengan perempuan cantik yang tinggal satu desa dengan beliau. Perempuan cantik itu bernama Ibu Emi. Pernikahan beliau tidak lewat perjodohan, melainkan atas dasar keinginan sendiri kemudian disowankan kepada KH. Maimmun Zubair.
Dalam pernikahannya dengan Ibu Emi, H. Muhtadi dikaruniai satu putera dan satu puteri. Yang pertama laki-laki bernama Ahmad Ihsan Syaifuddin, yang kedua putri bernama Khoirina Nur Salamah. Dalam mendidik kedua anaknya beliau tidak lepas atas rujukan KH. Maimun Zubair.
H. Maimun Zubair pernah dawuh kepada H. Muhtadi “Muh, anakmu sekolahno,ojo padakno awakmu”. Alhasil, meskipun beliau terkenal seorang yang zuhud, beliau tetap menyekolahkan kedua anaknya sampai perguruan tinggi. Intinya ketika mengambil keputusan atau melaksanakan suatu kebijakan, kita perlu memperhatikan hal-hal lain, semisal menyesuaikannya dengan berkembangnya zaman.
Sanad
Sanad keilmuan H. Muhtadi adalah langsung dari KH. Maimun Zubair, begitu pula dengan sanad thoriqohnya. Dan sanad manakib beliau adalah KH. Zaini Dahlan (Kaliwangan), serta Faqih Imam ( Sarang, Rembang).
Selain itu, beliau terbiasa ngaji pasan saat bulan Ramadhan ke beberapa pesantren. Beliau juga belajar Al-Qur’an di pesantren Yanbu’ul Qur’an, yang diasuh oleh KH. Arwani Amin.
Maka tidak mengherankan jika KH. Maimun Zubair menugaskan beliau untuk mengajar di pesantren Khozinatul Ulum Blora di bawah asuhan KH. Muharror Ali yang memiliki sanad Al-Qur’an langsung dari KH. Arwani.
Pesan
Pesan yang selalu beliau sampaikan kepada para santri ketika mengajar diantaranya:
- Seorang santri harus bisa segalanya (multitalent)
- Santri harus mampu bersaing dengan produk-produk yang berkembang sekarang, supaya tidak ketinggalan zaman
- Menjadi seorang manusia harus bisa bertanggung jawab dunia dan akhirat
- Mulailah melakukan sesuatu yang baik dari diri sendiri (ibda binafsik).
Dikutip dari wawancara bersama Bapak Tahta Bachtiar, adik kandung Ibu Emi
Ditulis kembali oleh: Zahrotul Ilma