Bagaimana sebuah bangsa bisa bermimpi menjadi besar jika rakyatnya enggan membaca, apalagi berpikir? Indonesia, negara dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, sedang menghadapi ironi besar yakni krisis literasi.
Kita hidup di era informasi, tetapi masih banyak yang sibuk menelan hoaks daripada menggali kebenaran. Sebuah pertanyaan besar muncul, Apakah ini bangsa yang kita inginkan untuk masa depan?.
1. Fakta Krisis Literasi: Antara Malas Membaca dan Mudah Tertipu
Berikut adalah beberapa fakta menyedihkan tentang literasi di Indonesia:
- Minat Baca Rendah: Data UNESCO menunjukkan indeks minat baca Indonesia hanya 0,001. Artinya, dari 1.000 orang, hanya 1 yang serius membaca.
- PISA Membongkar Kelemahan: Berdasarkan survei PISA 2018, Indonesia berada di peringkat bawah dalam kemampuan membaca, diapit oleh negara-negara yang ekonominya jauh lebih kecil.
- Mudah Tertipu Hoaks: Rendahnya literasi membuat masyarakat lebih percaya pada pesan berantai WhatsApp daripada data berbasis fakta.
2. Mengapa Kita Terjebak di Lubang Literasi Rendah?
Krisis ini tidak datang begitu saja. Ada akar masalah yang terus dibiarkan:
- Budaya Instan: Membaca butuh waktu dan pemikiran. Tapi di era media sosial, orang lebih memilih scrolling cepat daripada membaca buku.
- Pendidikan yang Membosankan: Sistem pendidikan kita lebih suka mengajarkan anak untuk menghafal, bukan berpikir kritis. Akibatnya, membaca dianggap tugas, bukan kebiasaan yang menyenangkan.
- Ketimpangan Akses: Di beberapa daerah, mencari buku ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Tidak semua orang punya akses ke bahan bacaan berkualitas.
3. Dampak Krisis Literasi: Kebodohan yang Sistematis
Rendahnya literasi bukan hanya persoalan individu, tetapi bencana sosial. Dampaknya terasa di berbagai sektor:
- Kegagalan Berpikir Kritis: Krisis literasi menciptakan masyarakat yang mudah percaya dan tidak mampu membedakan fakta dari opini.
- Ekonomi Lemah: Dalam dunia kerja, kemampuan membaca, memahami, dan berpikir kritis adalah kunci produktivitas. Krisis ini menjadi penghambat kemajuan ekonomi.
- Rendahnya Kualitas Demokrasi: Literasi rendah membuat masyarakat lebih mudah dimanipulasi oleh janji-janji politik kosong.
4. Apakah Ada Harapan untuk Bangkit?
Tentu saja ada, tetapi tidak cukup hanya berharap. Diperlukan tindakan nyata untuk membalikkan keadaan:
- Bangkitkan Budaya Membaca: Keluarga adalah tempat pertama menanamkan cinta membaca. Biasakan anak-anak untuk membaca buku sejak dini.
- Revolusi Sistem Pendidikan: Sekolah harus menjadi tempat yang memupuk rasa ingin tahu, bukan sekadar tempat mencetak nilai ujian.
- Teknologi untuk Literasi: Gunakan teknologi untuk meningkatkan akses ke bahan bacaan, seperti e-book gratis atau aplikasi pembelajaran interaktif.
- Gerakan Sosial yang Masif: Kampanye literasi harus lebih “bising” dari drama selebriti di media sosial. Ajak semua pihak, dari influencer hingga pemerintah, untuk menyuarakan pentingnya membaca.
Kesimpulan
Krisis literasi adalah alarm keras yang tidak boleh diabaikan. Bangsa ini terlalu besar untuk tetap menjadi pemain kecil di arena global. Literasi bukan sekadar soal membaca, tetapi soal cara berpikir, cara memahami dunia, dan cara bertindak. Saatnya kita berhenti menyalahkan keadaan dan mulai mengambil langkah nyata. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Daftar Pustaka
- OECD. (2019). PISA 2018 Results. Paris: OECD Publishing.
- Kemendikbud RI. (2020). Gerakan Literasi Nasional: Strategi Penguatan Budaya Literasi.
- UNESCO. (2016). Global Education Monitoring Report. Paris: UNESCO.
- Badan Pusat Statistik. (2021). Statistik Pendidikan Indonesia. Jakarta: BPS.
- World Bank. (2020). The Human Capital Index Report.