Judul film: Perempuan Berkalung Sorban
Director: Hanung Bramantyo
Creator: Hanung Bramantyo, Ginatri S. Noer
Actors: Revalina S. Temat (Annisa), Oka Antara (Hanya Khudori), Reza Rahadian (Samsudin),
Widyawati (Nyai Muthmainah), Rianti Cartwright (Aisyah), dan Joshua Pandelaki(Hanan).
Penulis : Jonathan Dante Timesmei Manao
Editor : Biru Cahya Imanda
Rilis : Tahuun 2009
Perempuan Berkalung Sorban adalah film yang berlatar belakang lingkungan pesantren, yang menyajikan situasi ketidak setaraan gender. Indonesia dengan beragam norma adat istiadat disetiap daerahnya memiliki aturan masing-masing sesuai dengan nilai sosial yang berkembang. Namun nyatanya norma tersebut justru banyak yang menomor duakan kaum perempuan. Kaum laki-laki yang dianggap paling kuat, paling berkuasa, paling berhak dalam segala bidang dibanding perempuan.
Seperti halnya kisah Anisa dalam film ini yang memperjuangkan hak-haknya sedari kecil. ketidak adilan yang ia rasakan sejak kecil membuatnya tumbuh menjadi perempuan yang selalu mempertanyakan keadilan hidup terhadap dirinya sebagai perempuan. Ia juga mempertanyakan keadilan Islam terhadap para kaum perempuan.
Anisa seorang wanita berkarakter cerdas, berani, dan berpendirian kuat yang tumbuh dikalangan pesantren yang masih menjunjung tinggi nilai superior laki-laki harus menerima ketidak adilan itu, hingga ia tumbuh dewasa menjadi perempuan yang berani menentang setiap hal yang ia rasa merugikan dirinya. Situasi yang ia rasa sangat menyudutkan kaum perempuan. Tapi, berbeda ketika Anisa bersama sang paman Khudori yang mampu membuatnya merasakan sebuah kesetaraan terhadap kaum perempuan.
Kisah pengorbanan dan perjuangan Annisa (Revalina S Temat), sebagai anak sekaligus ibu dan isteri, dalam lingkungan keluarga kyai di pesantren. Sejak kecil Annisa mendapatkan perlakuan tidak adil, protesnya selalu dianggap rengekan anak kecil. Hanya Khudori (Oka Antara), pamannya, yang selalu menemani, menghibur sekaligus menyajikan ‘dunia’ yang lain bagi Annisa. Dunia yang mensetarakan perempuan, dan tidak hanya membela lelaki. Diam-diam Annisa menaruh hati kepada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan ibu Annisa, Nyai Muthmainnah (Widyawati) isteri Kyai Hanan (Joshua Pandelaki), ayah Annisa pemilik pesantren Al Huda. Hal itu membuat Khudori membunuh cintanya, sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo.
Khudori selalu menekankan ke Annisa untuk belajar, hingga secara diam-diam Annisa mendaftarkan kuliah ke Jogja, tapi kenyataan berkata lain. Kyai Hanan tidak mengijinkan Annisa melanjutkan kuliah, malah dinikahkan dengan Samsudin (Reza Rahadian).
Dalam mengarungi rumah tangga bersama Samsudin. Annisa selalu mendapatkan perlakuan kasar. Tapi ketika Annisa berniat meninggalkannya, Samsudin akan berubah menjadi lelaki rapuh yang merengek-rengek sambil bersujud meminta ampun. Biduk keluarga Annisa berlangsung bagai neraka. Samsudin menikah lagi dengan seorang janda bernama Kalsum (Francine Roosenda). Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri seketika runtuh.
Dalam keputusasaan itu, Khudori pulang dari Kairo. Annisa seperti mendapatkan harapan, ia meminta Khudori membawanya pergi. Dalam kegusarannya, Khudori memeluk Annisa. Sebuah pelukan hangat seorang paman kepada keponakannya yang sedang resah. Tapi tiba-tiba, Samsudin datang dan memergoki keduanya. Samsudin berteriak ‘Zinah! Rajam! Rajam!’ yang kemudian membawa Annisa dan Khudori kedalam kemelut fitnah.
Kejadian itu membuat Kyai Hanan meninggal. Khudori diusir, sementara Annisa pergi ke Jogja untuk sekolah. Pesantren Al Huda diserahkan kepada Reza (Eron Lebang), kakak Annisa. Annisa berkembang sebagai muslimah dengan wawasan dan pergaulan yang luas. Lewat studinya sebagai penulis, banyak buku yang memotret hal perempuan dalam Islam sudah dihasilkan. Hingga Annisa dipertemukan kembali dengan Khudori. Keduanya masih sama-sama mencintai, akhirnya mereka menikah meski pernikahan itu membuat hubungan Annisa dan keluarganya semakin jauh.
Tapi Annisa sadar bahwa untuk menciptakan lingkungan nyaman, seseorang harus mengubah dirinya menjadi nyaman, dan itu yang dilakukan oleh Ibunya yang memilih jadi figur lemah dan tidak berdaya. Akhirnya, kata maaf bukan ditujukan untuk suatu kesalahan, tapi sebuah sujud rasa bakti kepada orang tua. Dalam kata maaf itu, Annisa berjanji untuk terus berjuang menjadi yang terbaik. Menjadi muslimah sebagaimana yang Ayah dan Ibunya inginkan.
Kisah religi romantis dalam film ini yang penuh perjuangan dan pengorbanan. Latar belakang film yang mengangkat isu ketidak setaraan gender dilingkungan yang konservatif. Mengantarkan film ini menerima undangan Screening to France Audience in Lyon FranceSoutheast Asian Cinema Panorama of the Asian Connection Film Festival 2011 – date 19 – 23 Oct 2011. Dan terpilih dalam Cinema of the World Section of the 40th edition of International Film Festival of India (IFFI) to be held in Goa 23rd November- 3rd December, 2009.
Disamping mendapatkan beberapa penghargaan, film ini juga sempat menuai kontroversiDi dalam filmnya, Perempuan Berkalung Sorban menceritakan perlawanan Anissa, seorang santriwati terhadap pengekangan perempuan di pesantren. Dalam film itu, Anissa berkata Islam tidak adil terhadap perempuan. Film menampilkan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan ulama dengan dalih agama, seperti perempuan tidak boleh jadi pemimpin, perempuan tidak boleh naik kuda, perempuan tidak perlu berpendapat dan perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa disertai muhrimnya. Setting film ini rentang tahun 1980-an hingga 1998. Hal inilah yang memicu adanya kontroversi ditengah masyarakat pada saat itu. Memang jika kita melihat sepotong-sepotong dari film itu, atau menyitir dialog-dialog tokoh tanpa mendengar jawaban tokoh lain yang diajak dialog, atau hanya mendengar komentar orang tanpa menontonnya sendiri, tidak akan menangkap dengan jelas pesan apa sebenarnya yang hendak disampaikan. Barangkali kita perlu menjernihkan pikiran, bahwa logika dalam karya seni itu tidak berbanding lurus dengan logika sehari-hari. Karena jika kita menggunakan logika sehari-hari dalam melihat karya seni dapat dianggap menyimpang atau menyeleweng dari kenyataan.