Telaah Hadits, Munafik Zaman Now

Hadis merupakan sumber hukum terpenting setelah al-Qur’an. Penerimaan hadis sebagai ajaran dan sumber hukum Islam adalah realisasi dari iman kepada Rasul dan kalimat syahadat yang diikrarkan setiap umat muslim. Selain itu hadis juga sebagai penjelas ayat al-Qur’an yang bersifat umum. Dalam penyampaian hadis ada kelompok yang percaya dan menerimanya, tapi ada juga yang tidak mempercayai mereka adalah golongan  kafir Quraisy dan kelompok orang munafik.

Munafik adalah orang yang menampakkan sesuatu yang sejalan dengan kebenaran di depan orang banyak, padahal kondisi batinnya atau perbuatan yang sebenarnya tidak demikian. Keberadaan orang munafik seperti duri di dalam daging yang menusuk tubuh. Dalam menjalani realita kehidupan mereka selalu berubah karakternya terutama ketika berinteraksi dengan sesama manusia serta dalam tindakan atau perkataannya. Munafik seperti virus yang merusak sendi-sendi kehidupan manusia, seperti berbohong, ejekan, cemoohan, julukan jelek, menghina, mencaci maki, menggunjing, mengadu domba, dan lain sebagainya. Mereka sering melakukan propaganda dan provokasi segala macam bentuk perjuangan, dengan tujuan yang tidak baik. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah.

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ أَبُو الرَّبِيعِ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا نَافِعُ بْنُ مَالِكِ بْنِ أَبِي عَامِرٍ أَبُو سُهَيْلٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: ” آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ، إِذَا حَدَثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ ”

Telah mengkhabarkan kepada Sulaiman Abu Rabi’, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ja’far, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Nafi’ bin Malik bin Abi ‘Amir dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu; apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari dan apabila dipercaya dia mengkhianati.” (H.R. Bukhari)

 

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kita tidak bisa hanya menyebutkan ciri-ciri orang munafik sesuai hadis di atas. Karena memahami hadis Nabi, harus memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatar belakangi diucapkannya suatu hadis, atau terkait dengan suatu ‘illah tertentu yang dinyatakan dalam hadis tersebut atau dari kejadian yang melingkupinya, kalau dalam istilah hadis disebut asbabul wurud.

Dalam pandangan Yusuf Qardawi, jika kondisi telah berubah dan tidak ada ‘illah lagi, maka hukum yang bersinggungan dengan suatu nash akan gugur. Demikian juga hadis yang berlandasan suatu kebiasaan bersifat temporer yang berlaku pada masa Nabi dan mengalami perubahan pada masa sekarang. Maka yang dipegangi adalah maksud yang dikandung hadis tersebut, bukan makna hadis secara teks. Pandangan itu sesuai dengan kaidah yang terdapat di ushul fiqh, yaitu kaidah al ibratu bi khususi sabab la bi umumi lafdzi.

Dimana kesimpulan dan makna suatu hadis tidak hanya dibatasi dengan asbabul wurud suatu hadis, akan tetapi melihat secara umum maksud hadis yang diinginkan. Sehingga ketika suatu hadis mempunyai asbabul wurud, bukan berarti hadis itu hanya khusus diperuntukkan bagi orang yang terlibat di dalamnya, begitu pula ketika asbabul wurud suatu hadis berkaitan dengan para sahabat, bukan berarti maksud dari hadis tersebut adalah hanya untuk para sahabat. Maka hal tersebut diperuntukkan bagi seluruh manusia di setiap tempat dan waktu. Makna substansial atau hukum hakiki teks hadis sangat penting untuk diketahui dan dipegang. Karena tujuan hakiki bersifat tetap sedangkan prasarana menuju tujuan itu adakalanya berubah dengan adanya berubahan zaman, kebiasaan, dan lingkungan.

Pada hadis tanda-tanda orang munafik, yang mempunyai tujuan tetap yaitu, bila setiap orang yang berbohong  (atau lainnya yang sesuai dengan tanda-tanda orang munafik)  maka orang itu bisa dikatakan orang munafik. Sedangkan prasarana untuk menuju tujuan itu bisa berubah-ubah, seperti orang zaman dahulu bila berbohong dikatakan munafik, ini bisa dilihat dari perkataannya (mulut). Jadi sarana (wasilah) yang digunakan adalah mulut.

Itu berbeda dengan orang zaman sekarang yang bisa berbohong tidak hanya melalui perkataan saja, tapi bisa melalui berita yang kemudian disebarkan di media sosial, kalau orang menyebutnya berita hoax. Jadi sarana yang digunakan adalah media sosial. Berbeda dengan orang zaman dahulu yang bisa langsung diketahui apakah berbohong atau tidak. Tapi, sekarang dengan dukungan teknologi yang canggih sulit untuk mendeteksi antara berita yang benar dan tidak.

Jadi kita sebagai muslim budiman harus bisa menjaga perbuatan kita, baik ketika di dunia nyata atau maya. Dengan adanya perkembangan ini kita harus bisa memilah antara yang manfaat dan yang madharat. (Ita Setiowati)

Menarik lainnya