KH Muharror Ali yang dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Khozinatul ‘Ulum. Lahir di desa Robayan, salah satu desa di Kabupaten Jepara pada tahun 1951. Merupakan putra kedua pasangan Mohammad Ali dengan Zuhriyah dari sembilan bersaudara. Muharror menempuh pendidikan SD sampai SMP di tempat kelahirannya. Setelah tamat SMP beliau melanjutkan proses belajarnya di salah satu pondok di Kajen, Pati. Yang tidak lain pesantren Matholi’ul Huda yang diasuh oleh KH. Abdullah Zain bin Abdus Salam serta KH. Sahal Mahfudz. Setelah menyelesaikan belajarnya di PIM, Muharror memilih menjadi seorang penghafal Al-Qur’an. Beliau kemudian bekerja mondoknya di pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus yang diasuh oleh KH. Arwani Amin Said, atau yang lebih dikenal KH. Arwani Amin Kudus. Saat mondok berbagai cobaan silih berganti, salah satunya adalah ekonomi yang pas-pasan. Hal ini disebabkan karena keadaan ekonomi keluarga yang memang termasuk golongan menengah ke bawah. Sampai-sampai buku tulis yang beliau memiliki hanya seadanya, karena tidak adanya biaya untuk membeli keperluan sekolah. Apalah arti semua itu, Muharror tidak pernah patah semangat untuk terus belajar. Karena memang pada kenyataannya dia memang anak yang cerdas, sehingga semua pembelajaran yang dapat dilaksanakan dengan cepat. Meskipun ada kesulitan ketika belajar beliau tak segan untuk bertanya pada gurunya maupun kepada teman-teman-teman. Karena keberanian dan keaktifannya dalam belajar mengajar yang sangat dekat dengan para gurunya dan menjadi murid kesayangan.Muharror merupakan seorang penghafal yang luar. Bahkan sebelum mempelajarinya, beliau sudah hafal diluar kepala. Dan yang menjadi kiblat untuk men-get semua ilmunya adalah KH. Sahal Mahfudz.
Mendapat Nama Muhammad Ahmad
Pada saat mondok beliau pernah mengaji bersama si mbah kiai Sahal, dan pada saat itu kiai Sahal memberi tambahan nama Muhammad Ahmad atas musalsal bi Muhammadiyin dan Ahmadiyin. Nama asli beliau memang Muharror Ali, karena mendapat ijazah jadilah nama musalsal tersebut ditambahkan pada nama beliau sampai sekarang adalah KH. Muhammad Ahmad Muharror Ali.
Pernikahan dan perjodohan
Bahkan belum sampai pendidikan di pondok tersebut kelompok tersebut, Muharror sudah dipersiapkan KH. Arwani untuk diambil menantu oleh seorang saudagar kaya dari Blora yaitu HM Jaiz Ma’shum. Maka setelah mondok Muharror sudah mendapat mendapat amanat untuk mensyiarkan agama di kabupaten Blora. Karena keta’dzimannya, beliau menerima permintaan perjodohan tersebut dengan putri saudagar kaya yang bernama Sri Maryani pada tahun 1980 di Blora.
Membangun pondok
Setelah menikah, Muharror mulai mencoba sedikit demi sedikit merealisasikan mimpi mertuanya. Beliau mulai memantapkan niat untuk memulai langkah perjuangan menyiarkan agama di Blora. Awal perjuangan penentuan pertimbangan pertimbangan terlebih dahulu kepada para kyai-kyai besar serta guru-gurunya, di antaranya:
KH Umar bin Abdul Manan Solo
KH. Syahid Kemadu
KH. Maimun Zubair
KH. Arwani
Kh. Abdullah bin Abdissalam Kajen
Setahun setelah pernikahan tersebut lebih tepatnya pada tahun 1981, beliau dibuatkan pondok oleh ayah mertuanya. Akomodasi dari pendirian Masjid Roudhotus Sholihin di Kaliwangan yang menjadi tempat tinggal bagi beliau dan istrinya. Pembangunan tersebut menjadi calon calon berdirinya pondok pesantren. Peletak batu pertama pembangunan Masjid adalah KH. Ahmad Umar Abdul Manan yang tidak lain adalah guru beliau.
Nama Khozinatul ‘Ulum
Pondok yang dibangunkan oleh ayah mertuanya diberi nama “KHOZINATUL ‘ULUM” yang merupakan nama mempersembahkan dari guru beliau yaitu KH. Arwani. Yang memiliki arti gudangnya ilmu. Karena diharapkan dapat menjadi rujukan bagi orang-orang yang ingin memperdalam berbagai ilmu.
Gangguan dan tantangan yang menguasai
Pada awal pendirian pesantren muncul berbagai gangguan dari pihak yang tidak berkenaan dengan adanya masjid dan kegiatan yang berlangsung. Gangguan tersebut berupa dhohir dan batin. Contoh gangguan dhohir seperti serambi masjid menjadi tempat bermain sepeda, tempat wudhu setiap pagi ada kotoran manusia, dan ketika kegiatan keagamaan ada tetangga sekitar yang menggunakan musik dengan volume keras. Bahkan pada saat itu beliau memberanikan diri menerima santri yang belum mau menggunakan busana muslim (Belum berhijab, red) dengan pertimbangan masyarakat mau dulu mengenal dunia pesantren dan materi yang diajarkan. Meskipun banyak komentar tidak sedap dari tetangga sekitar, Alhamdulillah dengan niat yang tulus dan akhirnya Khozinatul Ulum bisa berdiri kokoh hingga sekarang. Gangguan yang bersifat batin sampai-sampai harus beliau atasi dengan riyadhoh (Puasa Mutih 40 hari, red) Ini dilakukan sebagai tindakan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan kedepannya.
Perkembangan pondok dari masa ke masa
Niat awal beliau sebenarnya hanya membangun pondok Al-Qur’an. Namun, kemudian beliau menabur kepada KH Abdul Hamid Pasuruan beliau didangu “ojo mung ngaji Al-quran, bocah-bocah warahi ilmu ketauhidan barang”. Setelah mendapat masukan dari KH Abdul Hamid. Akhirnya beliau memaknai bahwa kalau dekorasi pesantren jangan hanya mengaji Al-Quran saja namun diselingi pelajaran keagamaan lainnya. Dan gagasan ini yang akhirnya melahirkan madrasah awaliyah, wustho, ulya di pesantren Khozinatu Ulum. Pada awal perkembangan pesantren diawali hanya sebatas mengaji Al-Qu’an dan Madrasah Diniyah. Dahulu memang banyak santri yang nglaju (tidak menetap di pondok, red) hal ini karena minat masyarakat masih sedikit serta sarana yang kurang memadai pada kala itu. Seiring berjalannya waktu, karena minat warga mulai membludak akhirnya dibangun fasilitas-fasilitas pendukung. Alhamdulillah pada tahun 1984 sudah mulai membangun lembaga pendidikan Madrasah Tsanawiyah, Kemudian 2 tahun berselang dibangunlah Madrasah Aliyah, dan dilanjut dengan pembangunan-pembangunan lain hingga saat ini Khozinatul ‘Ulum telah mempunyai jenjang pendidikan yang lengkap, mulai dari PAUD, MI, MTs, MA, Serta Perguruan Tinggi Islam (STAI Khozinatul ‘Ulum).
Amalan yang dilakukan
Keistiqomahan beliau mengajar Al-Qur’an dari sehabis subuh sampai tuluk.
Istiqomah Berjamaah
Istiqomah dalam kedisiplinan mengajar di pondok dan madrasah.
Wawancara dari Gus H. Ahmad Labib Hilmi Ditulis kembali oleh: Dwi Nur Hasanah