Kyai Muhammadun Pondowan Kemladean Kelapa, Obat Nyidam Punya Anak

KH. Muhammadun atau yang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Madun adalah seorang Kiai yang terkenal dengan kealimannya dalam ilmu agama, zuhud dan sangat sederhana.

Muhammadun lahir di Desa Cebolek, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati pada tanggal 10 Januari 1910. Beliau merupakan putra dari pasangan H. Ali Murtadlo dan Hj. Halimatus Sa’diyyah.

Secara genealogis, nasab Kyai Muhammadun sambung sampai Kiai Mutamakkin Kajen, baik dari jalur ayah maupun dari jalur ibu berikut adalah satu jalur yang berhasil dihimpun penulis, KH. Muhammadun bin Ali Murtadlo (alias Murtomo) bin Nyai Thohiroh (istri Kiai Nurwi Cebolek) binti KH. Raden Mohammad Sholeh bin Nyai Jiroh (istri Kiai Hasan Wira’i bin Kyai Abdur Rohman Waru Rembang) binti Nyai Alfiah (alias Nyai Godek) istri Kiai Sholeh (alias Kiai Gerong bin Kiai Ageng Selo Purwodadi) binti KH. Ahmad Mutamakkin Kajen.

Sejak kecil, Muhammadun sudah belajar hidup sederhana dan pas-pasan. Pasalnya, ayahnya sudah meninggalkannya sejak umur 10 tahun. Sehingga putra keempat dari tujuh saudara (KH. Abdul Bashir, KH. Abdul Adhim, KH. Muhdlori, KH. Muhammadun, Kyai Mahshun, KH. Halimi, dan putra terakhir wafat ketika masih kecil) ini hanya diasuh oleh ibunya. Kendati demikian, ibunya tak patah arang untuk tetap mendidik putra-putrinya ilmu agama dan berperilaku luhur. Selain itu, ibu yang terkenal dengan keshalihannya ini merupakan seorang ahli puasa, memberikan contoh kepada anak-anaknya untuk selalu tirakat dan berperilaku sederhana.

Muhammadun sudah nampak tekun belajar mengaji semenjak masih kecil, beliau mulai belajar Al-Qur’an kepada pamannya sendiri di sebuah surau kecil dekat rumah. Kemudian Muhammadun mondok di Pesantren Salafiyyah Kajen. Di Pesantren Salafiyyah ini beliau dibimbing langsung oleh KH. Siroj (ayah dari KH. Baidlowi Siroj), pengasuh pondok tersebut. Namun, disana Kyai Muhammadun tidak berdomisili lama. Pasalnya, beliau hijrah untuk mondok lagi di Pondok Polgarut yang kala itu diasuh oleh KH. Abdussalam (ayah dari KH. Abdullah Salam).

Beberapa tahun kemudian ketika usia Muhammadun sudah menginjak umur 15 tahun, Beliau mengepakkan sayapnya menuntut ilmu ke Jekulo, Kudus. Mengaji ke Pondok Pesantren Kauman yang kebetulan kala itu diasuh oleh pamannya sendiri, KH. Yasin. Di tempat inilah Kyai Muhammadun belajar Tauhid, Nahwu, Shorof, Fiqih, Balaghah, Ushul Fikih, Tafsir, Hadis, dan Tasawuf.

Kyai Muhammadun dikenal dengan sebutan santri tirakatan. Hal ini dikarenakan bekal Kyai Muhammadun yang sangat minim sehingga hanya bisa makan satu kali dalam sehari, lauknya pun garam.

Uniknya, Kiai Muhammadun seringkali mencampuri beras yang ia masak dengan kerikil dengan tujuan supaya kalau makan bisa pelan-pelan sambil memilah-milah kerikil yang tercampur dalam makanannya. Belakangan diketahui hal ini sengaja dilakukan oleh Kyai Muhammadun untuk melatih kesabaran dan ketelitian.

Dengan keterbatasan bekal dari rumah, maka beliau di pondok untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari melakukan usaha sampingan membantu pekerjaan rumah tangga KH. Abdul Bashir kakaknya sendiri yang pada saat itu sudah berumah tangga di sebelah timur Pondok Kauman Jekulo.

Ketika beliau di pondok hanya punya satu sarung dan satu baju, kalau di dalam kamar beliau hanya pakai katok kombor (kebesaran) yang hanya menutup aurat, sedangkan waktu ngaji pakai sarung dan baju, namun hal tersebut tidak menjadikan beliau patah semangat dalam mencari ilmu.

Kendati demikian, beliau tergolong santri yang sangat tekun dalam hal nderes (belajar). Terbukti Muhammadun sering belajar hingga larut malam. Tak hanya itu, beliau juga selalu nampak menyendiri untuk shalat hajat dan taqarrub ila Allah.

Menariknya perilaku Kyai Muhammadun di pondok Kauman ini diketahui oleh Kyai Sanusi Jekulo. Padahal jarak rumahnya dan pondok lumayan jauh. Hal ini diketahui ketika Kiai Yasin sowan ke rumah Kiai Sanusi dan saat itu juga Kiai Yasin menanyakan perihal aktivitas santri asal Pati yang mondok di pesantrennya tersebut.

Setelah ngaji sekitar 10 tahun di Pesantren Kauman milik Mbah Yasin, Kyai Muhammadun berniat memperdalam ilmu agamanya dengan mempelajari kitab-kitab besar semacam Tafsir al-Baidlowi, Syarah Talkhis, Syarah ‘Uqud al-Juman, Tuhfat al-Muhtaj ‘ila Syarh al-Minhaj dan lain sebagainya. Karena merasa tidak sanggup mengajarkan kitab-kitab tersebut kepada keponakannya ini, Kiai Yasin menyarankan untuk belajar kepada Kyai Amir Idris Pekalongan. Atas dasar saran Kiai Yasin ini, kemudian Kyai Muhammadun hijrah ke Pekalongan, tepatnya di daerah Simbang Kulon.

Ketika di Pekalongan, Muhammadun ternyata tidak hanya mengaji saja, namun seringkali diminta oleh Kiai Amir untuk mengajar para santri di pesantren dan sesekali diminta untuk menjadi badal Kiai Idris ketika sedang berhalangan. Kala itu, Kiai Muhammadun mengaji di Pekalongan satu angkatan dengan Kiai Aqil Siradj (ayah dari Kyai Said Aqil Siradj, Ketua umum PBNU).

Sedang tiga tahun mengaji dan khidmah kepada Kyai Amir Idris, Kiai Muhammadun telah berhasil mempelajari kitab-kitab besar dan mendapatkan mutiara-mutiara ilmu yang melimpah dari gurunya. Bahkan Kyai Muhammadun mendapatkan dua ijazah sanad dari gurunya tersebut yakni ijazah sanad umum dan ijazah sanad khusus. Adapun ijazah sanad khusus ini disandarkan kepada KH. Mahfudz Termas yang merupakan guru Kyai Amir Idris ketika belajar di Mekkah.

Adapun dalam bidang tarekat, Kiai Muhammadun berbai’at kepada dua tarekat, yang pertama bai’at Tarekat Syadziliyyah kepada Kiai Abdurrahman Kendal dan yang kedua berbai’at khusus Tarekat Naqsabandiyyah kepada Kyai Sanusi Jekulo.

Mengajar dan Mengamalkan Ilmu

Setelah belajar dari Pesantren Simbang Kulon Pekalongan, Kyai Muhammadun diminta untuk kembali dan mengajar di pesantren Kiai Yasin Jekulo. Di pesantren tersebut Kyai Muhammadun mengajar berbagai kitab diantaranya, Syarh al-Ajrumiyyah, Syarh Nadhom al-Imrithi, Matn Alfiyyah, Fath al-Mu’in, Fath al-Qarib, Syarh Makudi Alfiyyah, Syarh Dahlan Alfiyyah, Syarh Milha al-I’rab, Syarh Sullam al-Taufiq.

Kyai Muhammadun mengajar mulai setelah dzuhur hingga pukul 12 malam. Bisa dibilang Kyai Muhammadun mengajarkan kitab kepada murid-muridnya 12 jam non-stop hanya jeda ketika shalat saja.

Setelah beberapa lama mengajar di pesantren, Kiai Yasin menjodohkan Kyai Muhammadun dengan putrinya sendiri bernama Nafisatun. Beberapa tahun menikah dikaruniai tiga anak yaitu M. Badruddin, Ahmad Rifa’i, dan Afifah. Kyai Muhammadun berkeinginan untuk membuat rumah sendiri. Awalnya, ingin membuat rumah di sekitar Pesantren Kauman. Namun, karena kesulitan menemukan tanah yang cocok, akhirnya pada hari Senin 2 Shafar 1364 H. (1943) Kyai Muhammadun beserta keluarga kecilnya boyongan ke Desa Pondowan, yang kala itu masyarakatnya masih didominasi kaum abangan. Sehingga ketika awal-awal Kyai Muhammadun datang ke Pondowan, beliau tak jarang mendapat olok-olok dan ejekan dari warga sekitar. Namun, hal itu ditanggapi oleh Kyai Muhammadun dengan sabar dan lapang dada.

Disaat KH. Muhammadun pindah ke Pondowan diikuti oleh seorang santri yang bernama Zuhdi dari Malangan Kayen (KH. Zuhdi Malangan) yang pada waktu itu sebagai salah satu santri yang ikut khidmah membantu menyelesaikan urusan rumah tangga KH. Muhammadun dan diikuti oleh santri yang lain diantaranya adalah Kiai Muhammad bin KH. Yasin Jekulo, KH. Hanafi (Menantu KH. Yasin) Pati Kota, KH. Mas’udi dari Muteh Wetan, Demak dan KH. Ma’sum Karanggawang, Demak.

Mendirikan Pesantren

Pondok Pesantren Pondowan yang sekarang berdiri, asal-usulnya hanya sebuah surau atau mushalla. Yang kala itu hanya digunakan untuk jama’ah dan mengaji Al-Qur’an oleh masyarakat sekitar dan belum ada santri yang menetap. Surau tersebut awalnya, diasuh oleh Kiai Abdur Ro’uf  kemudian diteruskan secara berurutan oleh Kiai Tasmin, Kiai Sumo (menantu KH. Tasmin), Kyai Sulaiman (cucu KH. Abdur Ro’uf ), Kiai Abdul Adhim (keponakan Kiai Sulaiman).

Barulah ketika dipegang oleh Kyai Muhammadun pada tahun 1942, beliau menjadikan surau tersebut sebagai pesantren. Awalnya pesantren ini tidak diberi nama, kemudian atas usul para santri dan disetujui oleh Kyai Muhammadun, Pondok Pesantren ini diberi nama Raudlatul Ma’arif Islamiyah. Kemudian, pada tahun 1974, nama tersebut diubah menjadi Darul Ulum.

Pondok Pesantren Pondowan pada masa awal berdirinya hanya terdiri dari bangunan induk yaitu langgar dhuwur (mushola yang tinggi) yang kanan kirinya diberi gotaan (kamar) yang terdiri dari atap rumbia (resulo/rembulung) dengan alas papah jambe (pohon pinang) dengan dinding gedhek (dinding yang dibuat dari bambu) dan berjumlah empat kamar.

Kyai Muhammadun mengajar murid-muridnya yang berdatangan dari berbagai daerah dengan semangat tinggi menyebarkan ilmu agama. Beliau mengajar penuh keikhlasan tanpa memungut biaya apapun dari murid-muridnya. Pondok Pesantren Pondowan semakin berkembang dan banyak santri yang datang dari berbagai daerah bukan hanya dari Jawa Tengah tapi juga dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Namun beliau seorang ulama’ yang tidak suka memiliki banyak santri sehingga jumlah santri seakan-akan dibatasi. Artinya ketika santri yang mukim (bertempat tinggal) lebih dari 40 santri, maka ada salah satu santri tidak bisa bertahan akhirnya pulang atau boyong. Situasi tersebut terus berjalan sampai menjelang tahun 1970, di pertengahan tahun 1970-an santri terus bertambah dan melebihi jumlah yang sebelumnya, bahkan di awal tahun 1980-an jumlah santri yang menetap di pesantren lebih dari 100 santri. Sedangkan santri pengajian ahad siang di masjid Pondowan meluber sampai di pelataran masjid. Hal tersebut terus berjalan sampai awal tahun 1981 dimana masa tersebut merupakan masa kejayaan Pondok Pesantren Pondowan.

Begitulah Kyai Muhammadun, telah mewakafkan jiwa dan raganya hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT. Beliau merupakan sosok yang tark al-kasb, tidak bekerja, hanya mengandalkan makanan dari perkebunan yang dimilikinya. Beliau hanya mengaji dan mengajar santri-santrinya. Toh Kiai Muhammadun beserta keluarganya diberi kecukupan oleh Allah, meski bukan kemewahan dunia yang didapatnya. Bagi Kiai sepertinya dunia hanya fatamorgana, dunia bukanlah tujuan, tetapi hanya sebagai sarana bekal dan pengabdian untuk kehidupan yang kekal di akhirat.

Selain terkenal keilmuannya, Kyai Muhammadun juga terkenal banyak menolong masyarakat. Contohnya ada orang minta tombo (pengobatan) caranya tidak masuk akal. Pernah ada orang sakit minta obat disuruh menggunakan kemladean delima putih. Tak disangka di depan rumah Kyai Muhammadun ada pohon delima putih, padahal cara menanam delima putih itu sangat sulit. Kemladean juga sangat jarang, tak disangka depan rumah juga ada. Ada orang Robayan, Jepara ingin punya anak, dibuatkan obat kemladean kelapa oleh Kyai Muhammadun alhasil mempunyai anak. Kyai Muhammadun pernah berkata “orang yang ingin punya anak, obatnya yaitu kemladean kelapa”.

Kiai Sanusi pernah bercerita ada santri dari Kayen bernama Masrun yang digigit ular tapi santri yang lain tidak berani totok, maka dibawalah ke rumah Kyai Muhammadun, ditotoklah oleh beliau, maka sembuhlah santri yang terkena gigitan ular. Jadi Kiai Muhammadun disamping nashrul ‘ilmi juga banyak pertolongan dan jasa di masyarakat. Bisa dikatakan Kyai Muhammadun adalah ahli hikmah (al hakim) yaitu seorang yang mempunyai ilmu yang sangat berguna bagi orang lain.

Jerih payahnya berdakwah di Pondowan, dengan mendirikan pesantren dan sebagainya sedikit banyak kini telah nampak hasilnya, daerah yang asalnya mayoritas berpenduduk abangan, kini banyak komunitas santri yang sudah menghiasi daerah tersebut. pergeseran pun nampak signifikan, dari yang mulanya masyarakat abangan menuju komunitas agamis.

Berdirinya Masjid Jami’ Pondowan

Berdirinya masjid jami’ Pondowan yang sekarang menjadi pusat pengajian bagi masyarakat Pondowan tak lepas dari kiprah Kyai Muhammadun. Menurut cerita, ada seorang pengusaha rokok kretek asal Kudus yang diketahui bernama H. Ma’ruf sowan minta do’a kepada Kiai Muhammadun supaya rokoknya bisa terjual hingga Sumatera. Dan ternyata dengan izin Allah SWT do’a Kiai Muhammadun dikabulkan.

Sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih H. Ma’ruf pun datang kembali sowan ke Kyai Muhammadun untuk menawarkan dibuatkan sebuah rumah yang kala itu rumah Kyai Muhammadun memang masih sangat sederhana. Namun, tawaran tersebut ditolak secara halus dengan meminta untuk diganti dibuatkan masjid saja. Pasalnya, saat itu di Pondowan belum ada masjid yang berdiri. Permintaan pun disetujui oleh pemilik pabrik rokok Jambu Bol ini.

Akhirnya pada tahun 1960 masjid jami’ pun dibangun di atas tanah wakaf pemberian warga. Kemudian pada tahun 1968 didirikanlah sebuah madrasah di atas tanah pemberian kantor agraria Pati yang berlokasi di belakang masjid jami’. Kedua bangunan ini kemudian menjadi pusat pengajian masyarakat Pondowan.

Semenjak kedua bangunan tersebut berdiri, otomatis kegiatan pengajian dipindah ke masjid dan masyarakat mulai banyak yang berbondong-bondong ikut mengaji disana. Shalat lima waktu di masjid di imami oleh Kyai Muhammadun hingga akhir hayatnya.

Kegigihan Beliau Dalam Meramaikan Masjid.

Setelah pembangunan masjid selesai beliau selalu melakukan jama’ah shalat maktubah bersama para santri di masjid. Saat musim penghujan jalan menuju masjid menjadi becek dan banyak jeblok (lumpur) karena waktu itu jalan belum diaspal seperti sekarang. Jalan dari pondok ke masjid merupakan jalan yang setiap hari dilalui kerbau milik orang Pakis Tanggung (desa sebelah timur pondok). Hal tersebut menambah parah rusaknya jalan dan lumpurnya bisa sampai menutup telapak kaki. Waktu itu beliau memakai alas kaki gamparan (alas kaki yang terbuat dari kayu jati yang diberi pentol di bagian depan dengan dijapit oleh jempol dan jari kaki) betapa masyaqohnya. Apalagi pada waktu malam hari musim hujan dan belum ada PLN seperti sekarang, beliau kalau berangkat ke Masjid harus bawa lampu penerang jalan yang waktu itu disebut teng tambak (lampu yang biasanya dibawa orang ke tambak) dan penutup hujan yang disebut caping kropak (caping yang berdiameter kurang lebih 75 cm. Terbuat dari anyaman bambu dan dalamnya diberi daun rumbia). Bisa  dibayangkan betapa susahnya perjalanan tersebut, namun beliau pantang menyerah dan perjalanan tersebut terus ditekuni walaupun dalam usia yang semakin tua bahkan sampai menjelang akhir hayatnya. Hal tersebut merupakan contoh baik yang perlu diteladani oleh anak cucu beserta masyarakat secara umum.

Berpulang ke Rahmatullah

Jum’at terakhir sebelum Kiai Muhammadun berpulang ke rahmatullah beliau masih sempat berkhutbah. Dalam isi khutbah tersebut beliau mengatakan “wong sing gak menangi wulan Sya’ban, persasat wes dadi mayit” jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berbunyi “orang yang tidak bertemu bulan Sya’ban itu tandanya sudah menjadi jenazah”. Dan ternyata selang 5 hari setelah khutbah tersebut, beliau kembali keharibaan Allah SWT.

Diketahui bahwa beliau meninggal dikarenakan menderita sakit stroke yang sudah sangat kronis. Awalnya pada hari Selasa tanggal 23 Juni, Kyai Muhammadun terjatuh ketika akan berwudhu untuk mendirikan shalat dhuha di masjid Pondowan. Kemudian atas saran dokter, beliau diantar ke Rumah Sakit Roemani Semarang oleh seorang dokter Puskesmas Margoyoso yang bernama dr. Muhtadi dan dikawal oleh santri yang bernama Syafi’i dari Majalengka dirawat disana sampai hari Rabu.      

Setelah mendapatkan perawatan intensif selama sehari semalam, Kyai Muhammadun menghembuskan nafas terakhirnya pada Rabu 24 Juni 1981 pukul 17:00 WIB. Sontak mendengarkan kabar tersebut, kabut kesedihan menyelimuti Desa Pondowan.

Umat Islam berdatangan dari berbagai kalangan untuk ikut hormat jenazah sang Kiai. Do’a dan tahlil terdengar dimana-mana mengiringi keberangkatan seorang Kiai yang terkenal dengan semangatnya, ketekunannya dalam berjuang di jalan agama dan selalu memberikan contoh kesederhanaan, tidak berlebih-lebihan dalam urusan dunia.

Kyai Muhammadun wafat meninggalkan Pondok Pesantren yang kini masih kokoh berdiri. Kini pesantren tersebut diasuh oleh putranya sendiri, Kiai Aslam dan Kiai Aniq Muhammadun. Selain itu beliau juga mencetak santri-santri yang kini menjadi pejuang agama di daerahnya masing-masing. Diantaranya KH. Ulin Nuha Arwani, Kiai Muhammad bin Kiai Yasin Jekulo, KH. Hanafi, Kiai Mas’udi, Kiai Ma’sum, Kiai Khafidzin, Kiai Imron, Kiai Khafidz Syathori dan masih banyak lagi yang belum disebutkan.

Penulis : Zamriz Anwar , IAIN Kudus

 

 

Menarik lainnya