Oleh: Muhammad Syaiful, S.Pd.I, M.Ag
(Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir STAI Khozinatul Ulum Blora)
Isu radikalisme dan intoleran tampaknya masih selalu menjadi problem hangat di negeri ini, seperti kasus larangan ibadah perayaan Natal di Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat (Sumbar), aksi sweeping di beberapa mall, kemudian adanya organisasi masyarakat yang menolak Pancasila sebagai ideologi dasar Negara. Dan masih banyak lagi orang-orang yang berfaham radikal yang membawa nama agama untuk melakukan hal yang menodai nama Islam itu sendiri.
Ironisnya tempat yang menjadi bibit berkembangnya ideologi faham radikal berada di lingkungan sekolah dan kampus. Menurut penelitian mutakhir Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dikutip dalam koran Tempo, mengungkapkan bahwa kampus dan Sekolah Menengah Negeri di Indonesia rentan terhadap pengaruh radikal. Survei April–Oktober lalu itu menunjukkan tingginya aktivitas keagamaan di lingkungan pendidikan milik negara, akan tetapi sebaliknya pengetahuan akan keagamaan pelajar, mahasiswa, guru dan dosen rendah.
Melihat hal tersebut tampaknya Islam Nusantara yang dirumuskan oleh para tokoh pendahulu akan menghadirkan solusi untuk menjadikan wajah Indonesia yang merupakan negara Islam terbesar di dunia menjadi negara yang pluralis, mengajarkan Islam yang ramah, toleran, dan tawasuth serta tidak menjadikan kekerasan atas nama agama.
Islam Nusantara bukan sebuah agama baru namun sebuah gagasan dengan konsep Pribumisasi Islam. Hal ini senada dengan apa yang telah dicetuskan oleh Gus Dur, konsep tersebut sama hanya saja terjadi perbedaan dalam penyebutan nama istilahnya.
Konsep Islam Nusantara hadir untuk memberikan sumbangsih penting bagi kedaulatan NKRI, serta melawan fenomena radikalisme yang sedang marak di Indonesia. Islam seharusnya hadir membawa kedamaian dan menyikapi seluruh perbedaan – perbedaan sebagai rahmat bagi semesta alam. Apalagi Indonesia terdiri dari berbagai ras, suku, budaya dan agama yang berbeda. Tindakan anarkis atas nama agama yang akhir- akhir ini merusak persatuan dan kesatuan Republik Indonesia tidak bisa ditolerir. Di tengah gerakan Islam garis keras seperti ini, maka langkah untuk melakukan kajian yang mengedepankan ajaran Islam yang toleran dan bebas intimidasi menjadi sangat strategis.
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang diharapkan akan menghasilkan lulusan yang memiliki wawasan keagamaan yang komprehensif dan lapang dalam mengembangkan kultur Islam Nusantara. Santri yang dididik dalam kultur pendidikan pesantren yang mengedepankan akhlakul karimah, serta penerapan sikap toleran yang syarat akan makna kultur religi masyarakat Indonesia yang ramah dan penuh kasih sayang terhadap sesama manusia akan mampu membangun pola hubungan manusia yang pluralis atau dalam arti tidak memandang seseorang dari identitas, baik dari segi suku, bangsa, agama, ras ataupun titik lainnya.
Peran pesantren sangat dibutuhkan bukan hanya dari segi keagamaan namun juga nantinya ke depan akan digunakan untuk pencegahan faham radikalisme, karena nilai-nilai Islam yang seperti demikian jarang atau sulit ditemui jika berada dalam majlis kajian Islam di beberapa sekolah dan kampus pada umumnya.
Untuk menangkal faham radikalisme dibutuhkan pemahaman agama yang lebih dalam, bukan hanya satu kali pertemuan dalam seminggu di kajian agama atau hanya lewat channel Youtube. Akan tetapi butuh bertahun-tahun menyimak apa yang diajarkan oleh para ulama’ yang bersanad jelas sampai kepada Rasulullah SAW. Dari pembelajaran yang dalam ini, maka nantinya akan mengetahui bahwa sesungguhnya Islam sangat menjunjung cinta dan kasih sayang.
Teraktualisasinya pendidikan karakter (keteladanan) dalam pesantren, mereka belajar hidup mandiri dengan guru (kiai, ustad) di lingkungan yang sama selama 24 jam. Karena itu santri memiliki prototipe seorang teladan dalam diri kiai dan senior yang telah mengajar. Pengawasan guru kepada murid bisa berlangsung maksimal.
Selain itu KH. Abdurrahman Wahid pernah menyebut subkultur pesantren sebagai bagian dari kultur di Indonesia. Subkultur pesantren memberi dinamika yang mewarnai keberlangsungan ghirah Islam Kebangsaan. Sistem pesantrenlah yang menjadi penjaga nafas pendidikan Islam-kebangsaan di Nusantara. Spirit yang dibawa adalah hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman).
Tidak berlebihan jika pesantren menjadi identitas tersendiri dari masyarakat Islam yang ada di antara negara yang lain. Sehingga bisa dikatakan Islam Nusantara identik dengan pesantren, atau Islam ala pesantren di bumi Nusantara. Maka berkembangnya pesantren dan peran para santri adalah tonggak kemajuan bagi Islam Nusantara dalam menghadapi problematika faham radikal yang mencoreng nama Islam sendiri. Diharapkan nantinya santri akan menunjukkan eksistensinya kepada masyarakat dunia dan menyebarkan Islam yang penuh cinta damai.