Tentang Senja dan Hidangan Prestasi untuk Padre

Oleh: Luthfia Nisfi Mahabbah

Namaku Senja. Aku dilahirkan kepangkuan basundari untuk menuntaskan berbagai tugas yang masih tercecer. Aku buka lagi arsip-arsip kusam berdebu yang bersemayam diatas meja kayu kamarku. Aku bukan senja dilangit yang melukis kanvas putih setiap sore hari. Aku juga bukan senja yang selalu dijadikan orang-orang sebagai pengantar cerita cinta,rindu dan kenangan. Aku adalah aku. Perempuan yang sudah ditakdirkan menggenggam nama Senja dan menjadi salah satu penikmat lukisan sore tersebut. Aku buka lembar pertama buku kusam tersebut, tertera tanggal 10 Desember tiga tahun lalu. Hari dimana dunia abuku berubah lebih berwarna karna jalan cerita yang membawaku pada benih-benih rasa.

Namanya Mada. Makhluk tuhan yang menyebalkan yang berhasil mengambil hatiku dengan caranya sendiri. Makhluk langka Tuhan yang merubah pola pandangku menatap dunia. Bahwa tidak selamanya dunia ini kejam, dunia ini masih menyimpan sebuah kebahagiaan setelah luka. Aku tersenyum mengingat awal perjumpaanku dengannya. Kisah ini berawal dari ketidaksengajaanku mengikuti perlombaan di sekolah beberapa tahun lalu. Pagi itu aku terburu-buru berangkat karna bangun kesiangan, berpenampilan seadanya dan mengecek lagi make up naturalku. OK! semua beres. Tiba di sekolah tepat waktu dan bergegas menuju ruangan lomba dengan diantar temanku.

“Terimakasih Var”

“Sama-sama Senja.Semangat ya!Semoga kamu dapat juara”

Aku menjawabnya dengan senyum dan acungan jempol. Sebenarnya aku sangat gugup berada di ruangan itu. Atmosfer pertarungan benar-benar dihidupkan sejak aku duduk di bangku bagian tengah. Aku berusaha menepis segala ketakutanku dan mengumpulkan kepercayaan diriku baik-baik. Kata Vara, jadi orang itu harus punya PD tinggi, biar tidak memalukan. Peserta lomba satu persatu berdatangan, setelah beberapa menit menunggu lombaku dimulai dan aku harus fokus dengan apa yang aku lakukan. “Sepuluh menit lagi” sial, gerutuku dalam hati. Aku mendongak menatap seseorang yang baru saja berbicara. Dari nametagnya kutahu namanya R. Mada Gumira. Tulisanku hampir mendekati selesai saat waktu sudah habis. “Waktu habis, harap meletakkan pena masing-masing.”  Ujarnya dengan tegas.

Aku menaruh pena dan bersandar pada kursi tempatku duduk. Rasanya benar-benar mendebarkan. Aku harus menunggu tahap selanjutnya lagi untuk pembacaan puisi. Ya, lomba yang aku ikuti adalah lomba puisi. Aku bersahabat baik dengan puisi dan sangat menyukainya.

“Nomor undi 5 harap maju kedepan”, lagi-lagi dia yang bersuara dan entah kenapa aku benci melihatnya, menurutku dia terlalu sok dan terburu-buru. Nomor undi yang dimaksud maju dan membacakan puisinya dengan sangat bagus. Cukup lama aku melamun sampai tak sadar sudah sampai dinomor urutku.

“Nomor undi 6 dari kelas 12 IPA 3’, ucapnya dengan mata mengarah padaku. Aku berdiri dan berjalan kedepan dengan gugup. Tarik nafas… buang… sekali lagi aku melakukannya. Mataku menyapu seluruh ruangan dan aku mulai berpuisi.

Dunia Makin Remang

Karya: Senja Tanaya

Teruntuk kamu

Sang Pemahat Jiwa dalam ribuan puisi

Mencecap murka dalam sajak kekosonganku

Maka terjadilah

Kerasnya pikiran tak menjanjikan

Ditumpuk dengan perilaku-perilaku kotor yang menyebar

     … … … … …

Tepuk tangan terdengar riuh saat aku selesai membaca puisiku dengan perasaan campur aduk. Aku tersenyum dan kembali duduk. Aku harus masih menunggu sampai semua peserta lomba ini maju untuk bisa keluar dari ruangan ini. Lalu tiba saatnya untuk pengumuman pemenang, tapi sepertinya semesta tidak mengizinkanku menjadi juara disini.Sampai juara selesai dibacakan tidak ada namaku sama sekali. Aku keluar ruangan dengan lesu. Sedih sudah pasti. Aku takut Vara kecewa, aku takut mengecewakan banyak orang. Aku duduk di bangku taman yang kosong, saat ini aku hanya ingin sendiri. Tiba-tiba kristal bening dari mataku jatuh tanpa undangan, luruh satu lalu menyusul butiran selanjutnya.

“Aku butuh Ayah”, ucapku disela tangis yang belum mereda. Dulu, saat sedang terpuruk seperti ini Ayah yang selalu menyemangatiku dan menasehatiku banyak hal. Tapi sekarang itu semua hanya kenangan, Tuhan lebih merindukan Ayahku. Tanpa kusadari ada seseorang diujung koridor yang diam-diam memperhatikanku. Dia mengamatiku sejak awal aku duduk disini.

“Mada, lo ngapain disini?” tanya Vara membuatnya terlonjak kaget.

“Nggak, cuma lewat aja” elaknya.

“Jujur aja, lo merhatiin Senja kan?” goda Vara sambil melirik ke taman tempatku berada.

“Gue simpati sama dia. Puisinya bagus banget tapi dia gak menang. Kata juri tadi, kalau dia gak gugup dan lebih bisa menguasai suasana dia bisa jadi juara.” terangnya dengan memperlihatkan kertas puisiku pada Vara.

“Jadi Senja kalah? Pasti dia sekarang sedih banget. Gue tahu Senja, kalau lagi kayak gini pasti dia menyendiri,nangis dan…”, kata Vara. “Dan apa?”,kejar Mada penasaran.

“Dan dia butuh Ayahnya sebagai penguat. Sayangnya,Tuhan lebih menyayangi Ayah Senja” ucap Vara melihatku dari tempatnya berdiri.

“Bentar lagi hujan, ajak dia pulang gih. Kasian kalau nanti kehujanan.” katanya melihat langit yang sudah berjubah gelap. Vara datang menghampiriku lalu memelukku.Aku sedikit kaget dengan kehadirannya. Dia mengajakku pulang tanpa bertanya keadaanku.

Beberapa bulan kemudian hari-hariku berjalan seperti biasanya lagi. Aku sudah menerima kejadian kemarin, tapi gemuruh rindu pada Ayahku yang masih belum mereda.

“Ish…nyebelin banget. Jadi orang kok sukanya jailin orang terus” omel Vara siang itu saat jam istirahat di kantin.kami beda kelas,jadi kantin adalah tempat yang cocok untuk bertemu. “Siapa sih Var?” tanyaku penasaran.

“Itu tuh,Mada,cowok nyebelin di kelasku yang pernah ada” ada emosi dalam nada Vara.

“Mada? Mada yang jadi panitia lomba kemarin?.” sambungku sedikit terkejut.

“Iya Senja.”

“Dengerin ya! Dia itu nyebelin,suka jailin orang,suka ngatain aku,terus pokoknya yang jelek-jelek.Kok ada sih orang kayak dia? Dan yang paling aneh lagi dia itu care sama…” Vara berhenti ngoceh dan menggantung kalimatnya sendiri.

“Sama siapa?”, entah kenapa aku begitu penasaran dengan orang-orang yang bersangkutan dengan Mada.

“Nggak kok,nggak tahu” kata Vara.

Aku merasa Vara berbohong dengan ucapannya,pertama kali mengenal nama Mada aku begitu membencinya.Tapi mendengar Vara bercerita setiap hari sedikit membuatku penasaran.Bagaimana Mada sebenarnya? Kata Vara dia juga pintar membuat puisi sepertiku.Benarkah? Aku begitu penasaran dengan puisi-puisi Mada.

“Senja,empat hari lagi ada lomba puisi di sekolah temanya Ayah.Katanya sih buat memperingati ‘Hari Ayah’.Kamu ikut gak?.” kata Vara memberitahuku sast kami sedang menunggu jemputan pulang.

“Entahlah,aku gak tertarik.Aku takut ngecewain banyak orang lagi.”

“Jangan gitu,dicoba dulu.Siapa tahu kali ini kamu berhasil.” Vara menyemangatiku.

“Entahlah Var.”

Tiba di rumah aku mengurung diri dikamar seharian.Pikiranku benar-benar kacau.Aku merindukan hadirnya sosok penopangku.Aku ingin memeluknya,bersandar dibahunya,dinasehati olehnya,dimarahi dan disayang seperti gadis lainnya.Aku memang sudah 17 tahun,sudah cukup dewasa untuk mengerti dunia.Tapi,selamanya disini aku tetap gadis kecil Ayah yang minta dimanja setiap hari.Aku buka lagi album foto keluargaku,ada Senja kecil yang digendong lelaki dengan pose yang lucu.

“Senja,bangun.Udah pagi sayang, nanti telat sekolah loh.” kata Bunda membangunkanku.Ternyata aku tertidur sambil memeluk album foto didekapanku.

“Emmt,iya Bun” jawabku mengucek mata dengan ekspresi khas bangun tidur.

Setelah mandi dan bersiap-siap aku berangkat dengan sopir keluarga.Sampai di kelas aku dikejutkan dengan sepucuk  surat dilaci mejaku.Tidak ada nama pengirimnya dan tulisannya juga asing.Aku membuka surat tersebut.

3 hari lagi lomba dimulai

Ikut ya!

Aku tunggu kamu.

Aku tidak tahu siapa pengirimnya,Vara yang kutanyai jawabannya juga sama.Aku mengacuhkan kiriman itu,tapi sampai hari ketiga sekolahpun surat tersebut masih dikirim dilaciku.Aku sudah cukup penasaran siapa pelakunya.Apa maksudnya? Kenapa semangat sekali menyuruhku mengikuti lomba itu.Dalam hati aku ingin ikut,tapi aku juga takut.Lalu pagi ini kiriman itu datang lagi,dalam hati aku berkata pasti isinya sama seperti kemarin.Aku membuka surat misteri tersebut.

Hey…apa kabar?

Aku menulis ini karna ada satu hal yang terbesit difikiranku

Maaf sebelumnya,bukannya aku ingin mengingatkan kamu pada sosok Ayah

Tapi justru aku berkeinginan menguatkan kamu

Aku menulis ini sehari sebelum lomba dimulai

Kamu ingin sosok Ayah bahagia melihatmu dari atas sana bukan?

Aku hanya bisa membuatmu tetap tabah

Jika ini sudah takdir Tuhan pasti ini memang yang terbaik

Kuatkan hatimu..

Semangat untuk mengejar apa yang kamu impikan

Dan hadiahkan keberhasilanmu itu untuk Ayah

Buatlah beliau tersenyum bahagia

Jangan terbawa apa yang membuatmu benci dan kesal

Aku yakin kamu pasti bisa

Aku selalu ada buat kamu

“MG”

Airmataku sudah membentuk danau kecil dari tadi.Pengirim surat ini begitu detail membaca suasana hatiku.Aku menangis,hujan kecil diwajahku hadir karna seseorang berinisial MG.Surat ini mengail rinduku lagi pada sosok Ayah.Ekosistem rinduku tak pernah mati,dia hidup dalam ruang abadi didasar hatiku.Siapa MG? Apa tujuannya memberiku surat seperti ini?

Sabtu pagi ini sekolah benar-benar ramai oleh siswa-siswi yang ingin melihat lomba ini dimulai.Aku hanya melihat keriuhan itu dari bangku taman tempatku duduk seperti biasa.Aku menghubungi Vara tapi dia sibuk mengurusi lomba Fisika minggu depan.

“Var,masih sibuk nggak?” tanyaku menelponnya.

“Iya,ini aku lagi mau bimbingan.Kamu dengerin aku ya! Aku yakin kamu bisa Senja.Ikuti lombanya ya! Ada seseorang yang sangat berharap kamu ikut.Nanti aku hubungin lagi.Dadah.” kata Vara menutup sambungan teleponnya.

Ada seseorang yang menungguku? Siapa lagi? Kenapa sekarang hidupku dikelilingi misteri? Lomba sebentar lagi dimulai dan peserta yang ikut juga sudah berada di ruangan yang disediakan.Tinggal aku sendiri yang belum beranjak dari taman.Aku memejamkan mata dan menghirup udara sebanyak mungkin,berharap semoga gelisah yang aku pikirkan ikut terbang terbawa angin.

Dari anak-anak yang lewat dan tak sengaja aku mendengar percakapan mereka jika lomba sudah dimulai.Aku berlari menuju ruangan yang kutujudan berhenti tepat didepan pintu.

“Maaf bu,apa masih dapat mengikuti lomba ini?.” tanyaku sambil mengatur nafas sisa lari tergesa tadi.

“Tapi waktu lomba tinggal 30 menit,apa kamu sanggup?.” kata bu Dian,selaku juri.

“Sanggup Bu.” jawabku yakin.

“Silahkan duduk.”

Aku duduk di bangku belakang yang tersedia,sebelum duduk aku sedikit kaget melihat seseorang yang akhir-akhir ini memenuhi pikiranku.Mada mengikuti lomba ini dan dari tatapan matanya sepertinya dia juga kaget melihatku,aku sempat melihat dia tersenyum meskipun sebentar.Aku mulai menulis dengan sisa waktu yang harus kupergunakan sebaik mungkin.

“Waktu habis.Harap mengumpulkan karya dan menunggu nomor undi dipanggil.” ujar juri.

Semua peserta mengumpulkan karyanya begitupula denganku.Kulihat Mada selalu menatapku dan menyimpan berjuta pertanyaan,tapi aku tidak begitu mempedulikannya.Aku harus mengumpulkan keberanianku dengan baik.Semua nomor undi sudah dipanggil dan tersisa aku yang belum menampilkan diri.

“Senja Tanaya,silahkan maju.”

Aku maju dengan berdebar dan menguasai diri lebih baik lagi.Aku tidak ingin membuat Vara dan banyak orang kecewa lagi.Akan aku tunjukkan pada Ayah kalau aku bisa membuatnya bangga.

“Puisi ini saya persembahkan untuk lelaki terhebat dihidup saya,untuk sosok penguat dan sayap kanan saya yang sudah pamit ke alam lain.” kataku lebih percaya diri kali ini.

Surat Sederhanaku Untuk Padre

Karya: Senja Tanaya

Ayah..

Rasa ini telah tertancap dalam hati

Mendekap gemuruh rindu yang merambah

Akan kecamuk sua yang tak terbantah

Aku ingin ditarikan

Oleh pertemuan yang tak tersirat

Aku ingin dinyanyikan

Oleh panggilan yang menyejukkan

Hanya lafadz yang terucap

Tak ada singgah yang menetap

Ada yang bilang sayap kananku telah patah

Ada yang bilang malaikatku lenyap

Betapa senandung harapan hanya sebuah ilusi

Hanya khayalan diselembar senja

Membenamkan muka pada rindu yang tak redam

Yang ada hanya bayang-bayang

Tak ada lagi sesuap nasi dan secangkir kopi spesifik dihidangkan

Hanya ada sesiram doa dan semu temu yang meraja

Ayah..

Aku tetap disini berdiri sampai akhir diri

Dan aku tak lelah jika hanya mengucap sepatah nama..Padre

Tak terasa air mata ini menetes membaca puisiku sendiri.Aku merasa sosok Ayah benar-benar melihatku sekarang dan sedang tersenyum padaku.Tepuk tangan begitu menggema diruangan ini.Kulihat bu Dian,matanya sembab.Semua peserta yang hadir berdiri memberiku riuh tepuk tangan.Mada yang dari awal tadi memperhatikanku begitu bahagia melihatku.Senyumnya terlihat menawan,aku kira dia tidak bisa tersenyum.Aku kembali duduk ketempatku dengan perasaan lega dan senang.Selang beberapa waktu tiba saatnya untuk pengumuman juara.Puisi-puisi yang menjuarai akan dipanggil kedepan.

“Juara ketiga diraih oleh Diyah Arvinjani dengan puisinya yang berjudul ‘Buih’.” ucap bu Dian.

“Juara kedua diraih oleh Raja Mada Gumira dengan puisinya yang berjudul ‘Ayah’. ” gemuruh tepukan menggema ditelingaku.Raja? Jadi R namanya kepanjangan dari Raja.Nama yang sangat bagus,batinku.Aku masih risau menunggu,rasanya aku ingin keluar saja.Percaya diriku sudah terhapus dengan teriakan bangga dan takjub orang-orang disekitarku.

“Dan juara pertama lomba puisi hari ini yang sudah kita tunggu-tunggu adalah…Senja Tanaya dengan puisinya ‘Surat Sederhanaku Untuk Padre’.”

Tubuhku mematung.Entah beberapa saat ada rasa tak percaya yang sempat hadir.Tepuk tangan semakin lantang,bercumbu dengan teriakan sanjungan.Bagai aransemen musik yang paling ditunggu,sangat nikmat terdengar ditelingaku,itu namaku.Aku maju kedepan dengan bahagia dan berdiri tepat disamping Mada.

“Selamat ya.Kamu berhasil.” bisiknya pelan ditelingaku.

“Sama-sama,terimakasih.” jawabku.

Ada rasa aneh saat aku berada didekat Mada.Aku merasa nyaman ada disampingnya.Aku merasa terlindungi oleh hadirnya.Seperti tadi saat sudah keluar ruangan,ada segerombolan anak-anak yang ingin mengucap selamat padaku,aku kewalahan menyambutnya,dan Mada datang menolongku dengan mengatakan kalau aku masih harus mengurus sesuatu.

“Makasih ya,udah dibantuin tadi.” ucapku berjalan dengannya.

“Iya,biasa aja.Btw,puisi kamu tadi keren.Aku suka.” terangnya menatapku.

suka kamu juga,batinnya.

“Mungkin lagi kebetulan aja,soalnya aku ingin buat Ayahku bangga dan menemukan pengirim surat misteri MG” kataku.Aku berhenti berjalan karena dia juga menghentikan langkah.

“Senja, maaf sebelumnya. Sebenarnya surat-surat itu dariku.MG itu namaku, Mada Gumira. Aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya bersimpati padamu. Aku yakin kamu dapat maju, puisi-puisimu itu terlalu indah untuk disimpan saja. Aku sengaja memberimu surat itu karena aku tahu kamu benar-benar kehilangan sosok Ayah dan begitu merindukannya. Aku tidak ingin kamu membenci takdir Tuhan atas ini.Kamu harus tahu kalau Tuhan sudah mempersiapkan sesuatu yang indah buat kamu.” jelas Mada yang membuatku sangat kaget.

“Darimana kamu tahu semua itu?” tanyaku menatapnya.

“Dari Vara dan buku harianmu yang dibawanya” ujarnya.

“Lalu apa tujuanmu dengan mengirimiku surat seperti itu?” kejarku padanya.

“Karna aku menyukaimu sejak awal kamu mengikuti lomba puisi bulan lalu.Aku tertarik dengan apa yang ada didirimu.Kamu unik,kamu berbeda,kamu punya sesuatu yang membuatku selalu tertuju padamu.Senja Tanaya,izinkan aku untuk masuk keduniamu,tenggelam bersamamu dan menjadi bagian dari puisi-puisimu.” terangnya menatap mataku dalam.Aku terkejut,aku masih belum bisa mencerna perkataannya dia berucap lagi.

“Aku memang tidak bisa menggantikan apa yang benar-benar diberikan oleh sosok Ayah,tapi aku berjanji untuk menjagamu.Aku ingin melindungimu,aku ingin jadi penguatmu saat kamu rapuh. Aku akan menjagamu gadis kecil Padre.” jelasnya membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Aku menghembuskan nafas dan menutup buku kusam digenggamanku.Kenangan itu akan terus melekat dalam memori otakku.Dari Mada aku mengerti bahwa kehidupan harus terus berlanjut.Darinya aku belajar ikhlas menerima keadaan.Dia yang membuatku percaya bahwa Ayahku memang bahagia diatas sana.Aku memang kehilangan sayap kananku dan Mada berhasil berperan sebagai pelindung untuk sayap baruku.

“Senja,udah ditunggu Mada diluar.” ucap Bunda dari luar kamarku.

“Eh,iya Bun.Sebentar.” kataku menaruh buku kenangan itu ditempatnya dan keluar kamar.

“Sudah siap melihat jelmaanmu berpentas pada bumi?” tanya Mada saat aku menghampirinya di ruang tamu.

“Aku siap” jawabku tersenyum.

Aku pergi ke taman yang tak jauh dari rumah untuk melihat mega merah yang terlihat cantik dan menjadi kegemaranku dengan Mada tiap sorenya.Setelah ini,aku yakin hidupku akan lebih indah sampai Tuhan sendiri yang akan menjeda ceritaku bersama takdir yang sudah digariskan(*).

Menarik lainnya